RADARBANDUNG.ID, CIMAHI – Pembangunan komplek perumahan Griya Asri Cireundeu, di kawasan Kampung Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, masih menuai kritik dari berbagai pihak.
Kali ini, kritikan datang dari Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat, Dadan Ramdan, yang menganggap pemerintah terlalu mudah menerbitkan izin.
Padahal izin yang diurus oleh PT. Nur Mandiri Jaya Properti sebagai pengembang, dikeluarkan pemerintah setelah ada pengerjaan di lahan Gunung Gajah Langu, yang akan dibangun perumahan.
“Hal itu menandakan kalau pemerintah mengabaikan keselamatan warga Cireundeu karena potensi bencana yang bisa terjadi akibat pembangunan di Ruang Terbuka Hijau (RTH),” ungkap Dadan saat dihubungi, Kamis (24/1/2019).
Potensi bencana yang bisa terjadi menimpa warga adat Kampung Cireundeu, diakui langsung oleh Dinas Lingkungan Hidup. Artinya, pembangunan yang dilakukan menumbalkan keselamatan jiwa masyarakat sekitar.
“Lantaran izin sudah keluar, jadi pembangunan terus berlanjut. Kalau tidak ada izin kan tidak mungkin ada pembangunan. Ada andil pemerintah mendukung pengrusakan lingkungan disini,” bebernya.
Merujuk pada apa yang terjadi, dia menilai Pemkot Cimahi terlalu memaksakan keinginan pengembang untuk melakukan pembangunan perumahan tersebut, tetapi tidak memikirkan pentingnya keselamatan warga setempat maupun keselamatan lingkungan dari bencana alam.
“Pemerintah kota jelas mengabaikan risiko terjadinya bencana terutama longsor. Seharusnya dalam pembangunan itu mengutamakan pengurangan risiko bencana,” tuturnya.
Menurutnya risiko di daerah Kampung Adat Cireundeu risiko bencananya besar karena daerah itu merupakan daerah perbukitan, jadi seharusnya pembangunan tersebut tidak dilanjutkan, bahkan seharusnya dihentikan.
“Seharusnya pada tata ruang tidak boleh ada pembangunan. Artinya Pemkot terlalu memaksakan adanya pembangunan perumahan dan mengabaikan dampak lingkungan dan bencana kedepan,” ujarnya.
Kendati pengembang mengaku sudah ada kajian yang dilakukan konsultan sebagai upaya memininalisir bencana, namun hal tersebut seharusnya tidak serta merta membuat pemerintah terlalu baik mengeluarkan izin.
Kemudahan penerbitan perizinan pembangunan perumahan di Cimahi, dikhawatirkan bisa mengulang kasus proyek Meikarta, yang menyeret beberapa penjabat dalam dugaan penerimaan gratifikasi.
“Tentu bisa berpotensi adanya suap dan gratifikasi dalam perizinan tata ruang, seperti yang terjadi pada kasus proyek Meikarta. Mudah-mudahan tidak seperti itu, makanya harus jadi pelajaran,” terangnya.
Pihaknya juga mengkritisi lemahnya pengawasan yang dilakukan Anggota DPRD Kota Cimahi. Hal itu memunculkan dugaan negatif atas sikap wakil rakyat itu.
“Ada main atau ada politik uang dan itu yang saya khawatirkan, seharusnya sikap DPRD tegas. Jadi menurut saya harus ada proses audit agar ada fungsi pengawasan,” ujarnya.
Anggota Komisi III DPRD Kota Cimahi, Dedi Kuswandi, juga plin-plan dalam upaya menghentikan pembangunan tersebut. Padahal saat pengembang belum memiliki izin, dia sangat lantang menolak pembangunan.
Dia membela diri dengan mengatakan jika pembangunan di atas gunung itu bisa dilanjutkan karena semua izin pembangunan sudah dikeluarkan Pemkot Cimahi.
“Untuk persoalan yang sekarang ada aturan mainnya, bukan masalah dukung mendukung. Aturan mainnya kan membolehkan tidak di situ (Cireundeu) dibuatkan perumahan. Kalau bolehkan kita sulit menyatakan mendukung tidak mendukung,” ujarnya saat dihubungi.
Terkait permintaan kaji ulang proses izin kepada walikota saat itu, ia mengaku saat ini tidak bisa berbuat banyak terlebih saat ini izinnya sudah keluar dan sudah melalui putusan pengadilan.
“Kita kan hanya normatif, artinya ketika ada aturannya dan ada payung hukumnya berarti pembangunan itu memang sudah seharusnya bisa berjalan,” pungkasnya.
(dan)