RADARBANDUNG.id, BANDUNG – Polemik diterminasi atau pengakhiran manfaat Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Sensorik Netra (BRSPSDN) Wyata Guna yang dulu
lebih dikenal Panti Wyata Guna, menuai kritik dari legislatif.
Anggota Komisi I DPRD Provinsi Jawa Barat (Jabar), Rafael Situmorang SH menyayangkan keterlambatan Pemerintah Daerah Provinsi (Pemdaprov) Jawa Barat (Jabar) dalam menangani masalah tersebut.
Menurut Rafael, seharusnya Pemdaprov Jabar mempersiapkan secara matang perencanaan setelah ada perubahan status dari Panti Wyata Guna menjadi Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Sensorik Netra (BRSPDSN) Wyata Guna.
“Panti Wyata Guna adalah tanggung jawab Pemdaprov Jabar untuk mengurusnya. Artinya, ada rentang waktu cukup lama supaya transisinya enak,” tandas kader Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan itu.
Ia menambahkan, masalah ini tidak akan terjadi jika terjadi komunikasi antara Kementerian Sosial (Kemensos) dengan Pemdaprov Jabar. “Panti menjadi tanggung jawab provinsi, sedangkan balai ditangani Kemensos. Kalau balai itu sifatnya pelatihan hanya enam bulan, sedangkan panti sekolah,” kata Rafael.
Secara konsekuensi, kata Rafael, sudah balai jadi otomatis siswa disabilitas yang sekolah harus keluar dari situ. Tapi karena tidak ada tempat para siswa disabilitas
harus tidur di jalan.
“Mereka ditawarkan ke Dinas Sosial Jabar yang ada di Kota Cimahi, cuma fasilitas di sana belum menunjang. Bayangin aja kalau dari Cimahi, sekolah di SMA 6 Kota Bandung. Cara cara naik angkotnya susah, karena keterbatasannya, untuk jalan aja mereka menggunakan tongkat,” kata Rafael.
Karena itu, ia mempertanyakan kesiapan siswa disabilitas untuk pindah ke Dinsos. Pasalnya, lanjut dia, fasilitas di Dinsos jauh berbeda dengan Panti Wyata Guna, misalnya penyeberangan jalan khusus orang tunanetra.
Pemdaprov Jabar, kata Rafael, dengan dikeluarkannya Permensos Nomor 18 tahun 2018 tentang organisasi dan tata kerja unit pelaksana teknis (UPT) rehabilitasi sosial penyandang disabilitas di lingkungan Direktorat Jenderal (Dirjen) Rehabilitasi Sosial seharusnya sudah bisa mengantisipasi masalah ini.
Melalui Permensos ini nomenklatur Panti Wyata Guna yang semula berbentuk panti diubah menjadi BRSPDSN. “Makanya harus dipersiapkan dari awal, bila perlu dikomunikasikan dengan Kemensos bagaimana transisinya,” tegas Rafael.
Soal bagaimana mekanismenya, lanjut dia, yang jelas siswa disabilitas yang dulu masih bertahan yang disiapkan oleh Pemdaprov.
“Tapi ini seolah-olah dadakan, tidak hanya komunikasi baku, mungkin gubernur telepon menteri atau presiden. Gubernur jangan hanya bisa ngomong di medsos,” ujar Rafael dengan nada kesal.
Menurut dia, Pemdaprov harus respons cepat, sensitif terhadap orang disabilitas, jangan formalistik komunikasinya. “Menurut saya lahan Wyata Guna masih luas, kalau Pemdaprov mengucurkan anggaran jangka pendek agar siswa disabilitas bisa bertahan di sana, sebelum fasilitas di Dinsos memadai,” usul Rafael.
Sementara itu, Kepala Dinas Sosial Jabar, Dodo Suhendar menegaskan, sejak tahun lalu Pemdaprov Jabar sudah menyatakan kesiapan menampung penghuni Wyata Guna yang harus keluar karena masa rehabilitasinya berakhir.
Bahkan pada 28 Oktober 2019, sudah ada serah terima peserta didik dalam sebuah MoU dan prasasti yang ditandatangani Kepala UTPD Panti Sosial dan Kepala SLBN A Kota Bandung disaksikan Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat di Jalan Cibabat, Kota Cimahi.
Ada empat siswa SLBN A Kota Bandung yang pindah dari Wyata Guna. Keempat anak disabilitas semuanya tuna netra masing-masing Naufal, kelas 7 dari Gununghalu, Kabupaten Bandung Barat; Rohib, kelas 12 dari Cirebon; Adit, kelas 10 dari Kabupaten Bandung, serta Deras, kelas 10 dari Kota Bandung.
Selama tinggal di panti rehabilitasi Cibabat, keempat anak ini tetap bersekolah di SLBN Jalan Pajajaran. Biaya antar jemput siswa sudah ditanggung Dinas Perhubungan Provinsi Jawa Barat dengan menyediakan kendaraan pengantar dari Cibabat ke sekolah.
“Arahan Pak Gubernur jelas bahwa semua ini harus ada kolaborasi. Tidak hanya Dinas Sosial dengan Dinas Pendidikan, tapi juga Dinas Perhubungan. Untuk bersekolah dari Cibabat ke Pajajaran kan butuh kendaraan,” kata Dodo.
Menurut Dodo, sebenarnya Dinsos sudah berulang kali membujuk para disabilitas ini untuk pindah ke Cibabat, namun mereka tak mau. “Kami terus membujuk berulang kali penyandang tuna netra untuk mau pindah, namun mungkin teman-teman netra mempertimbangkan tentang aksesibilitas, kemandiriannya dan pelatihan-pelatihannya. Karena berbeda baik infrastruktur maupun program antara panti di Cibabat dengan yang di Wyata Guna,” jelas Dodo.
Kepala BRPSDN Wyata Guna, Sudarsono menuturkan, semester satu tahun 2020 akan ada penambahan penghuni disabilitas di Balai Wyata Guna Bandung untuk mendapatkan rehabilitasi dan vokasi. Oleh karena itu, asrama perlu ditata untuk penempatan kembali.
Sudarsono menyebut, target 2020 akan ada sekitar 200 penghuni baru. Sehingga mahasiswa yang bertahan walau masa rehabnya telah berakhir akan menghambat proses penerimaan. “Bayangkan ada orang baru yang mau melakukan latihan terganjal. Nah, ini yang kami coba usahakan,” pungkasnya.