RADARBANDUNG.id, BANDUNG – Kementerian Kelautan dan Perikanan diminta tidak merevisi peraturan berkaitan penjualan bayi lobster. Jika sampai dilegalkan, maka hal itu sama dengan merusak masa depan para nelayan dan industri kelautan Indonesia.
Wakil Ketua Komisi IV DPR, Dedi Mulyadi menegaskan revisi aturan penangkapan bayi lobster hanya untuk kepentingan jangka pendek dan tidak mempertimbangkan konservasi kelautan. Memperjuangkan kepentingan nelayan itu bukan berarti semua keinginan mereka hari ini harus dipenuhi. Ada aturan yang boleh direvisi dan ada yang tidak.
“Aturan yang tidak boleh direvisi adalah terkait legalitas penjualan bayi lobster. Aturan itu tercantum dalam Peraturan Menteri (Permen) KP No 56 tahun 2016 yang menyebutkan larangan penangkapan bayi lobster, kepiting, dan rajungan,” kata dia melalui siaran pers yang diterima, Kamis (30/1/2020).
Jika bayi lobster dijual, maka Indonesia akan mengalami kekurangan bibit yang tentu saja akan merusakan masa depan kelautan. Di sisi lain, rencana Menteri Kelautan Edhy Prabowo melakukan revisi Permen KP No 56 itu demi kepentingan nelayan juga.
“Namun revisi itu juga harus mempertimbangkan kelestarian ekosistem laut demi masa depan anak dan cucu. Logika ingin memakmurkan nelayan itu harus seiring dan sejalan dengan logika menjaga konservasi kelautan. Karena kalau logikanya digunakan untuk memakmurkan tanpa mempertimbangkan itu (konservasi kelautan) akan membunuh nelayan jangka panjang,” tegasnya.
Dedi mencontohkan, misalnya, bayi lobster diperbolehkan ditangkap dan diperjualbelikan seharga ratusan ribu rupiah. Mereka akan kehilangan lobster yang jauh lebih ekonomis yang dibanderol di pasaran Rp 4 juta.
Ia khawatir Indonesia akan mengalami krisis bayi lobster. Sementara negara lain akan menjadi penghasil lobster terbesar di dunia. Meteri Kelautan dan Perikanan haru tahu bahwa di negara mana pun termasuk yang berkategori maju, aturan mengenai perlindungan industri laut sangat tegas.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo akan merevisi 29 peraturan menteri untuk meningkatkan tangkapan ikan di laut Indonesia. Menurutnya, revisi tersebut dilakukan karena banyak peraturan menteri yang tak berpihak kepada masyarakat. Salah satu contohnya adalah larangan penjualan baby lobster.
“Mereka duduk seharian mendapatkan baby lobster. Baby lobster itu dijual Rp 3.000 per ekor. Kalau ada pekerjaan lain, mana mungkin mereka mau duduk berhari-hari menangkap baby lobster. Kita boleh bikin kebijakan, tapi dampak kebijakan ke masyarakat apa? Saya tidak mau populer, saya hanya ingin masyarakat makmur,” pungkasnya.