RADARBANDUNG.id, PERTUNJUKAN – wayang Tavip dengan cerita lima bidadari yang turun ke bumi, menjadi penghibur diruang publik Cihampelas Walk. Anak-anak nampak antusias menyaksikan sang dalang menggerakkan wayang yang beratraksi dalam acara ‘Road To Bandung Wayang Festival 2020’.
Penampilan wayang tavip memang berbeda dibandingkan wayang-wayang lainnya, seperti wayang golek dan wayang kulit. Wayang ini menampilkan warna yang lebih beragam pada saat pertunjukan. Kain putih yang jadi latar dan apabila ditembak dengan sinar cahaya maka akan menonjolkan warna yang lebih beragam.
Ini membuat wayang buatan dosen Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung tersebut lebih modern dan segar. Jauh dari kesan kuno, wayang tavip membawa angin segar kepada seni pertunjukan wayang yang kini mulai ditinggal.
Sang dalang, Mohamad Tavip membuat wayang kontemporer yang terbuat dari limbah plastik. Tujuan awalnya adalah memanfaatkan sisa sampah plastik yang sulit terurai menjadi lebih bermanfaat dan bisa menghibur. Limbah plastik yang tidak bernilai, oleh Tavip disulap menjadi berbagai karakter wayang yang menarik perhatian.
Kumpulan limbah plastik air mineral oleh Tavip disetrika sampai menjadi lembaran. Mengandalkan tekstur pada plastik, ia menyebut tekstur ini bisa menentukan karakter wayang yang dibuat, meski tanpa pewarna. “Tanpa warna bisa menghasilkan tekstur yang luar biasa. Makanya jenis plastiknya harus ditentukan, kalau dapatnya yang tekstur datar harus diolah supaya ada tekstur,” katanya pada workshop wayang Tavip di Road To Bandung Wayang Festival, Cihampelas Walk, Sabtu (8/02/2020).
Kemudian, lembaran plastik ini digabung dan dijahit mengikuti sketsa yang sudah dibuat. Setelah jadi, Tavip memberikan pewarna pada karakter wayangnya menggunakan spidol permanen. Pewarna ini yang jadi nilai tambah dari wayang buatannya.
Tekstur di atas lembaran bisa muncul saat dipanaskan memakai solder. Tidak hanya memakai plastik bekas air mineral, Tavip juga memakai kertas mika warna-warni untuk membuat wayang. “Intinya, bahannya harus yang transparan. Karena ketika pertunjukan nanti akan ditembak dengan sinar cahaya yang menghadirkan siluet warna pada wayang,” terangnya.
Tavip menambahkan, pada pertunjukan dia menggunakan sejumlah alat atau gaya untuk produksi film. Sehingga pertunjukan yang dibuat tidak membosankan dan terkesan modern. Berkat permainan tata cahaya, pertunjukan wayang tavip seolah hidup dan sang dalang jarang memainkan lakon Ramayana Mahabharata. Akan tetapi, Tavip mengangkat cerita yang berkaitan dengan isu yang sedang berkembang di masyarakat.
Di panggung Road To Bandung Wayang Festival, Tavip membawakan cerita tentang lima bidadari yang turun ke bumi. Mereka ditugaskan sang raja karena sudah tujuh turunan tidak turun ke bumi. Sampai di bumi, mereka kaget, karena telaga tempat mereka mandi sudah berubah menjadi wahana waterboom dan bangunan bertingkat.
Selain wayang tavip, rangkaian menuju acara ‘Bandung Wayang Festival 2020’ ini juga dimeriahkan dengan wayang Potehi dari Rumah Cinwa. Wayang Potehi Rumah Cinwa ini berisikan anak-anak muda alumnus dan mahasiswa Universitas Indonesia yang tertarik dengan kesenian wayang.
Seni tradisi wayang yang berasal dari Tiongkok ini memainkan lakon ‘Sie Jin Kwi dan Lima Pusaka’ dengan atraktif. Kelompok wayang potehi rumah cinwa terbentuk November 2014 di Depok, Jawa Barat. Tujuan utamanya kelompok ini ada turut melestarikan kesenian wayang potehi yang hampir punah.
Potehi berasal dari kata pou (kain), te (kantong), dan hi (wayang), yang berarti wayang boneka terbuat dari kain. Kesenian ini sudah berumur hampir 3.000 tahun dan dibawa oleh perantau etnis Tionghoa ke berbagai wilayah Nusantara pada masa lampau. Kini, wayang potehi sudah menjadi salah satu jenis kesenian tradisional Indonesia.
Pada pertunjukan di Road To Bandung Wayang Festival 2020, wayang potehi beraksi selama 60 menit. Meski membawakan cerita klasik, sang dalang menyelipkan bahasa-bahasa kekinian, sehingga memancing daya tarik pengunjung mall.
Salah seorang dalang wayang potehi Rumah Cinwa, Meilia Afkarina Pitaningrum menuturkan, misi Rumah Cinwa memang ingin melestarikan wayang potehi. Maka dari itu, mereka mengemas pertunjukan dengan cerita yang mudah dimengerti. Bahkan, untuk format pertunjukan didepan anak-anak, mereka sering membawakan cerita yang kental dengan budi pekerti.
“Untuk menarik perhatian anak, kami bawakan cerita yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, seperti mencintai alam dan patuh kepada orangtua,” katanya ditemui selepas pentas.
Meimei, sapaan akrabnya, mengungkapkan pagelaran wayang di tengah ruang publik perlu dilakukan untuk mendekatkan diri kepada masyarakat, khususnya generasi milenial. Ia setuju bahwa sekarang generasi milenial semakin tidak mengenal kesenian tradisi wayang. Maka dari itu, gelaran ‘Road To Bandung Wayang Festival’ dianggap jadi batu loncatan demi kembali menggaungkan nama wayang.
Saat ini, kata Meimei, terdapat sekitar 30 anggota aktif di Rumah Cinwa. Lewat berbagai, penampilan mereka berupaya tetap menghidupkan wayang potehi. Pasalnya, di kalangan generasi muda etnis Tionghoa, kehadiran wayang potehi justru belum banyak diketahui.
Gelaran ‘Road To Bandung Wayang Festival 2020’ ini membuka rangkaian acara Bandung Wayang Festival 2020 yang akan digelar pada pertengahan tahun ini. Bertujuan mengenalkan seni tradisi wayang kepada generasi milenial, tema keragaman yang disalurkan melalui media seni wayang jadi benang merah.