RADARBANDUNG.id, JAKARTA – Perubahan kebijakan penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) memang memberikan angin segar bagi sekolah. Selain itu, batas penggunaan dana BOS untuk menggaji guru honorer naik maksimal 50 persen. Namun, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) khawatir berpotensi diskriminatif. Sebab, ada syarat harus memiliki NUPTK (Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan).
Wasekjen FSGI Satriwan Salim mengapresiasi langkah cepat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk memberikan langsung dana BOS ke sekolah. Praktis, sangat kecil potensi oknum pejabat daerah menyalahgunakan dana tersebut. Meski demikian, menaikkan alokasi dana BOS maksimal 50 persen untuk upah guru honorer berpotensi menimbulkan polemik.
Sebab guru honorer yang berhak menerima upah harus memiliki NUPTK. Kenyataannya, kata Satriwan, sangat banyak guru honorer di sekolah negeri maupun swasta yang belum punya NUPTK. Birokrasi mengurus NUPTK yang ribet menyulitkan guru untuk mendapatkan itu.
“Maka dengan prasyarat NUPTK ini, guru honorer tidak akan memperoleh upah dari dana BOS. Ini potensi diskriminasi yang dimaksud,” jelas Satriwan.
Menurut dia, menggaji guru honorer sampai dengan batas tersebut juga dilematis. Karena akan menghambat pembangunan infrastruktur, pelatihan, pembinaan guru, maupun alokasi lain untuk meningkatkan kualitas sekolah. Sebaiknya, penggajian guru honorer menjadi tanggung jawab pemerintah daerah melalui APBD. Maupun anggaran kolaborasi dengan pemerintah pusat selain dana BOS.
“Inilah yang kami dorong, agar pemerintah daerah patuh kepada perintah UUD 1945 Pasal 31 tentang anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBD dan APBN,” tegasnya. (jpc)