RADARBANDUNG.com, BANDUNG – Ditengah pandemi Covid-19, pemerintah dituntut responship terhadap segala dampak permasalahan. Tak hanya mengatasi virus asal Wuhan, China, pemerintah juga harus lebih tegas menyikapi ancaman lain seperti radikalisme.
Kesibukan bangsa menangani Covid-19 sangat berpotensi dijadikan peluang bagi gerakan radikalisme membangun dan memperkuat sentimen negatif atau ketidakpercayaan publik kepada pemerintah. Kaum radikal juga berpotensi menebar berita-berita hoaks terkait kegagalan negara dalam penanganan virus ini.
“Saat ini masyarakat dan pemerintah harus bersatu dan bekerja bersama menangani ancaman penyebaran Covid-19 dan segala dampaknya,” ujar Peneliti Senior Badan Litbang Kementerian Agama, Dr. Abdul Jamil Wahab, Rabu (22/4).
Abdul mengatakan, motif gerakan terorisme adalah keagamaan dan balas dendam. Mereka akan terus berjuang sampai sistem keinginan mereka berhasil didapatkan. Maka dari itu, kata dia, media perlu mengimbangi informasi-informasi yang sifatnya propaganda dari kaum radikalis seperti itu.
“Misalnya, kasus terorisme di Tambora, Jakarta Barat, penangkapan berawal dari kesigapan masyarakat. Kewaspadaan harus dilanjutkan dalam masa pandemi ini. Narasi-narasi yang sifatnya mencerahkan dan membantu masyarakat, harus terus dilakukan,” tambahnya.
Senada, Pendiri NII Crisis Center, Ken Setiawan menyebut, adanya pandemi Covid ini kaum radikal akan tetap bergerak. Mereka memojokkan pemerintah, bahwa pemerintah gagal dalam memberikan rasa aman. Kaum radikal menggemborkan bahwa peniadaan bentuk-bentuk kegiatan ibadah merupakan bentuk represi kepada Islam. Padahal, itu adalah bentuk pencegahan penyebarran Covid-19.
“Ujungnya mereka mengatakan penanganan covid ini salah pemerintah. Kaum radikal terus melawan pemerintah yang sah. Ini adalah hal yang tidak pantas,” tegas pria yang pernah menjadi komandan Negara Islam Indonesia.
“Kami meminta pemerintah khususnya aparat penegak hukum meningkatkan pengawasan untuk mempersempit gerakan paham ini, apalagi jelang Ramadan. Kita ingin kondisi dan keamanan negara ini kondusif,” sambungnya.
Sementara itu, Pengamat Terorisme dari UI, Aisha Kusumasomantri mengatakan, memang ada peluang kelompok radikal untuk mengkritisi pemerintah, khususnya dalam penanganan Covid-19 dan pelaksanaan PSBB. Ini berpotensi menimbulkan distrust atau ketidakpercayaan kepada pemerintah.
“Bahaya radikalisme tidak hilang, walaupun tidak melalui pertemuan-pertemuan secara langsung, tapi bisa melalui chatting melalui media sosial,” jelas dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia ini.
Ia juga menyebut, saat ini masyarakat semakin banyak menerima informasi khususnya di media sosial. Artinya, masyarakat semakin bingung mana informasi yang bisa dipercaya. Hal ini bisa dimanfaatkan para kelompok radikal.
“Kita harus lawan bersama, jangan terperangkap berita hoaks,” pungkasnya.