Sastrawan Sapardi Djoko Damono Tutup Usia
RADARBANDUNG.id- Kabar duka menyelimuti dunia sastra. Sastrawan senior tanah air, Sapardi Djoko Damono, meninggal dunia, Minggu (19/7), pukul 09.17.
Sastarawan yang dikenal dengan puisi berjudul “Aku Ingin” itu menghembuskan napas terakhirnya pada usia 80 tahun di di Rumah Sakit Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan.
Kabar duka itu diungkap oleh kalangan penulis dan sahabatnya. Salah satunya penulis Maman Suherman. “Selamat jalan Guruku,” kata Maman Suherman, Minggu (19/7).
Dikonfirmasi JawaPos.com, Kang Maman juga membubuhkan emote menangis lewat pesan WhatsApp. Dia pernah beberapa kali satu panggung berdiskusi bersama sang legenda. Pada berbagai kesempatan lain untuk berbincang bersama.
Selain sebagai sastrawan atau penyair, Sapardi Djoko Damono jugatercatat sebagai dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB) sejak 1974.
Di perguruan tinggi negeri (PTN) itu, Sapardi Djoko Damono pernah menjabat sebagai dekan FIB UI periode 1995-1999 dan menjadi guru besar.
Sapardi menelorkan banyak buku dan karya di dunia sastra. Berbagai buku yang akan selalu dikenang di antaranya Hujan Bulan Juni, Pada Suatu Hati Nanti, Ayat-Ayat Api, Melipat Jarak, Alih Wahana, hingga berbagai kumpulan puisi yang sudah memperkaya dunia literasi di Indonesia.
Nama Sastrawan Sapardi Djoko Damono melekat dengan kampus UI. Hampir seluruh hidupnya diabdikan sebagai pengajar dan dunia akademisi.
Sejak tahun 1974, ia mengajar di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya FIB) Universitas Indonesia , tetapi kini telah pensiun. Sapardi juga pernah menjabat sebagai dekan FIB UI periode 1995-1999 dan menjadi guru besar.
Guru Besar Susastra FIB UI Prof Bambang Wibawarta menceritakan banyak kenangan bersama almarhum. Bambang yang juga pernah menjabat sebagai Dekan FIB UI dan Wakil Rektor UI itu, sangat mengenal sosok SDD, sapaan almarhum.
“SDD kami memanggil beliau. Sosok sederhana, namun komplet dan seimbang antara sebagai akademisi maupun sebagai sastrawan,” kata Prof Bambang, Minggu (19/7).
Menurut Bambang, almarhum adalah akademisi yang mumpuni yang kerap kali punya sudut pandang menarik ketika membahas sesuatu. SDD mampu membahasakan teori atau sesuatu yang rumit dalam bahasa yang mudah dipahami.
“Sebagai seniman, sastrawan, kami semua sudah paham dengan melihat karya-karyanya yang hingga kini banyak diminati dan diapresiasi,” jelasnya.
Salah satu karyanya yakni Hujan Bulan Juni, juga sangat dikenang oleh penggemarnya. Begitu juga buku Teori Alih Wahana.
“Bahkan karyanya Hujan Bulan Juni dialihwahanakan dalam bentuk film layar lebar,” jelasnya.
“Teori Alih Wahana adalah salah satu peninggalan beliau yang banyak dipakai dalam penulisan skripsi, tesis ataupun disertasi,” tambah Prof Bambang.
Bambang juga tentu sering berdiskusi dengan almarhum. “Terakhir makan siang bareng akhir tahun lalu,” katanya.
(jpc)