RADARBANDUNG.id, BANDUNG – Pemanfaatan media sosial (medsos) secara masif di tengah masyarakat merupakan keniscayaan dari kemajuan teknologi informasi. Namun, keberadaannya menjadi tantangan tersendiri karena tak jangan membuat polemik di berbagai tingkatan masyarakat.
Interaksi di era sosial media juga menghadirkan tantangan tersendiri bagi kehidupan keberagamaan, khususnya dalam konteks menjaga umat yang solid. Ketua Organisasi Internasional Alumni Al Azhar (OIAA) Cabang Indonesia Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi menilai arus defragmentasi ini semakin menguat seiring berjalannya waktu.
Oposisi keberagamaan Islam di Indonesia melebur bahkan hingga level organisasi. Ini tidak terlepas dari tokoh maupun ulama yang memiliki hasrat untuk mendapat kekuasaan politik dengan menggunakan instrumen idiom keagamaan untuk mengeruk simpati umat.
“Politik itu bukan bagian dari akidah tapi muamalah. Karena itu perbedaan pendapat adalah hal biasa. Tidak boleh kemudian menyebabkan kita memutuskan silaturahmi. Di medsos itu sekarang perseteruan politik itu bisa dibawa kepada perseteuan akidah,” terang dia melalui siaran pers yang diterima, Minggu (6/12/2020).
Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi para tokoh dan ulama untuk berdakwah di era sosmed. Padahal, media sosial memiliki peran yang teramat besar dalam mengkonstruksi pemahaman keberagamaan umat.
Ia mengingatkan kepada siapa saja yang memikul peran sebagai contoh bagi umat untuk lebih serius memahami dan merespon berbagai fenomena di medsos. Hal tersebut harus dilakukan untuk membendung bentuk-bentuk dakwah dan produksi informasi keagamaan lainnya juga mengandung potensi memperuncing polarisasi dan defragmentasi umat.
Menurutnya, peran dan tanggung jawab ulama sebagai waratsatul anbiya alias pewaris para nabi. Dalam konteks dakwah, signifikansi peran ulama tidak hanya mengacu seberapa banyak ayat Al Quran dan Hadits yang ia sampaikan dalam sebuah pengajian, namun juga segala bentuk perilaku dalam keseharian.
“Dengan perannya itu, ulama juga didorong untuk menghadirkan hal-hal yang baik di ruang publik sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap umat,” terang dia.
Kemudian, ia mendorong para ulama dan tokoh untuk mrmbangun silaturahmi dan komunikasi sebagai salah satu langkah untuk menghindari defragmentasi dan ketegangan. Dengan cara itu, iklim dakwah di media sosial akan semakin sehat dan konstruktif sehingga semua pihak dapat lebih optimistis dalam memanfaatkan media sosial sebagai hasil sarinkemanjuan ilmu dan teknologi.
Senada dengan TGB, Mantan Menteri BUMN, Dahlan Iskan yang menjadi narasumber dalam webinar menangkap adanya gejala polarisasi dalam konteks yang lebih luas dengan menyebut fenomena ini sebagai sukuisme
Potret sukuisme ini banyak ditemui di grup WhatsApp di mana setiap orang tergabung dalam grup yang beranggotakan kelompok orang dengan pandangan serupa, baik pandangan politik, keagamaan, dan lain-lain.
“Sukuisme baru dalam grup WhatsApp kecenderungannya adalah orang yang ada di grup itu satu ide, satu pandangan sebagai. Keberadaan grup-grup itu saya amati semakin mensolidkan eksistensi masing-masing kelompok,” kata Dahlan.
Keberadaan kelompok-kelompok yang tersegmentasi ini dipandang Dahlan juga bakal terjadi di dunia dakwah. Kemajuan teknologi yang membuat setiap orang dapat memproduksi narasi dakwah sesuai kehendak pribadinya membuat setiap tokoh agama akan memiliki pendengar dan pengikutnya masing-masing, sehingga ketersekatan dan bentuk narasi yang majemuk masih akan dijumpai.
“Seperti apa dakwah yang akan mengena di hati masyarakat di masa depan? Tentu dakwah model apa pun akan mempunyai jemaah. Model yang keras, model agak lunak, semua model akan memiliki jemaahnya sendiri-sendiri. Menjadi tersekat-sekat,” ujar Dahlan.