RADARBANDUNG.id – KRITIKAN tajam atas penayangan sinetron ‘Suara Hati Istri – Zahra’ terus bermunculan. Berbagai elemen masyarakat mendesak penghapusan tayangan itu.
Salah satunya lewat Surat Terbuka Masyarakat Sipil gabungan berbagai LSM dan komunitas, perseorangan peduli anak dan perempuan, yaitu Koalisi 18+, Organisasi dan Individu Peduli #StopPerkawinanAnak.
Dalam surat terbuka itu, Koalisi 18+ menjelaskan selayaknya tayangan sinetron Mega Series Indosiar Suara Hati Istri – Zahra dihapuskan.
Mereka menilai kritikan massal terhadap sinetron ini lantaran alur cerita yang mengisahkan seorang pria dengan tiga istri, dengan istri ketiga yang diperankan artis yang masih di bawah umur.
Dikisahkan bahwa “Tirta” yang diperankan Panji Saputra dengan usia 39 tahun adalah seseorang laki-laki yang kaya raya dengan memiliki tiga orang istri dengan berbagai karakter yang dimuat dalam alur cerita.
Dimana salah satu istri Tirta dalam sinetron diperankan oleh artis Lea Ciarachel Fourneaux (LCF) yang memerankan adegan istri berusia 17 tahun, dalam kisah “Zahra” dianggap mempromosikan poligami dan kekerasan seksual terhadap anak.
“Program sinetron ini terkesan ingin memberikan kesan pada publik bahwa perkawinan anak sah saja dilakukan termasuk menjadi pelaku poligami dan kekerasan seksual terhadap anak. Dengan menayangkan siaran tersebut dalam salah satu program sinetron mega series di Indosiar juga akan semakin mempopulerkan para pelaku perkawinan anak, pelaku poligami dan pelaku kekerasan seksual terhadap anak,” jelas Lia Anggiasih, perwakilan Koalisi 18+.
ia menilai sebagai salah satu tontonan masyarakat yang banyak digemari masyarakat, khususnya kelompok perempuan dan anak, seharusnya konten memberi pesan dan pendidikan tentang bahaya perkawinan anak dan bahaya kekerasan seksual terhadap anak.
“Tontonan seharusnya bisa mendidik dan tontonan yang imajinatif. Bukan malah sebaliknya kasus perkawinan anak, kasus poligami dan kasus kekerasan seksual terhadap anak dianggap sebagai tontonan yang mendidik dalam acara tersebut, bahwa anak di bawah usia 19 tahun seperti yang tertuang pada Undang-Undang Perkawinan No. 16 Tahun 2019 tidak bisa melangsungkan perkawinan,” beber Lia.
Lia juga menyoroti, adegan ranjang yang Zahra dan Tirta perankan dalam sinetron tersebut. “Tidak etis dilakukan melihat usia Lea Ciarachel Fourneaux masih di bawah umur,” tegasnya.
Lia menjelaskan seharusnya pihak rumah produksi, Stasiun TV, Agensi/Manajemen Artis yang menaungi artis lebih selektif dalam menentukan pemeran serta peran yang cocok untuk dilakoni artisnya.
“Bahwa fakta menunjukkan pemeran Zahra adalah seorang anak yang masih di bawah 18 tahun dan telah memerankan karakter orang dewasa sebagai istri ketiga adalah salah satu bentuk eksploitasi anak di ranah industri penyiaran,” tandasnya.
LCF, lanjutnya seharusnya mendapatkan peran yang sesuai dengan usianya, bukan justru mendalilkan bahwa “Suara Hati Istri-Zahra” sebagai sebuah karya sehingga dilakukan pembiaran.
Berdasarkan poin-poin tersebut, jaringan Koalisi 18+ mendesak Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Kementrian Komunikasi dan Informatika untuk menurunkan seluruh episode tayangan siaran dengan judul Sinetron Mega Series Indosiar : “Suara Hati Istri – Zahra”.
“Meminta Rumah Produksi untuk menghentikan produksi dan mencegah terjadinya peredaran Sinetron Mega Series Indosiar : “Suara Hati Istri – Zahra” karena bertentangan dengan semangat pencegahan penghentian perkawinan anak dan penghapusan kekerasan seksual,” tegasnya.
Selain itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga diminta segera melakukan tindakan tegas untuk menyuarakan dan memberikan rekomendasi kuat untuk menarik tayangan sinetron Suara Hati Istri – Zahra.
“Karena mempromosikan perkawinan usia anak, kekerasan terhadap perempuan, dan pelemahan upaya kesetaraan dan keadilan gender dalam keluarga,” timpalnya.
Jaringan Koalisi 18+ mendesakkan Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) mengevaluasi secara menyeluruh program sinetron yang dimaksud dan melakukan proses seleksi scene/bagian sinetron/film yang tidak patut dikonsumsi anak-anak dan publik.
“Termasuk memberikan pesan kepada publik lewat adegan-adegan yang memperkuat pemahaman masyarakat bahwa perkawinan usia anak, dan perilaku kekerasan seksual terhadap anak,” jelasnya.
Jaringan Koalisi 18+ meminta peran Komisi Perlindungan Anak (KPAI) untuk melakukan investigasi secara komprehensif terhadap Agensi atau Perusahaan Manajemen tempat LCF bernaung.
“Untuk melihat sejauh mana bisnis sinetron atau program televisi tunduk pada Undang-Undang perlindungan anak, dan peraturan perundangan lainnya yang berlaku,” sebutnya.
Pihaknya berharap stasiun televisi khususnya Indosiar agar lebih selektif dalam memberikan tayangan sehingga tidak berdampak buruk pada perkembangan anak di Indonesia.
“Dan mengkaji seluruh tayangan termasuk proses produksi agar tidak melanggar ketentuan terkait perlindungan anak seperti yang tertuang dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS),” tandasnya.
Kemudian meminta Indosiar dan Rumah Produksi Mega Kreasi Film untuk membuat Iklan Layanan Masyarakat tentang pencegahan perkawinan anak sebagai bentuk permintaan maaf atas telah tayangnya Sinetron Mega Series Indosiar : Suara Hati Istri – Zahra.
Tokoh agama pun diharapkan perannya untuk bersama-sama menyatakan sikap menolak segala bentuk Program Televisi dan Audio Visual lainnya yang mempromosikan perkawinan anak, perilaku kekerasan seksual terhadap anak, dan kekerasan terhadap perempuan menjadi konsumsi publik.
“Dan, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) melakukan monitoring ketat terhadap produksi pengetahuan yang mendorong perkawinan anak dan kekerasan terhadap perempuan dan anak,” pungkasnya.