Perajin Batik Disabilitas di Kota Bandung, Upaya Mandiri di Tengah Keterbatasan
DI TENGAH keterbatasan, kakak beradik yang sama-sama menyandang disabilitas sebagai tunarungu, tidak berhenti berkarya dan memaksimalkan potensi diri.
Adalah Intan (19) dan Vina (15), yang kini terjun sebagai perajin batik demi meraih keuntungan.
NUR FIDHIAH SHABRINA/RADAR BANDUNG
Sebelum menjadi perajin batik, Intan dan Vina adalah penata rias. Keduanya belajar keterampilan di Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM).
Mereka lalu mulai belajar membatik sejak April 2021 dan sampai sekarang sudah bisa memproduksi sendiri hasil karyanya.
Keterampilan tangan Intan dan Vina menjadi modal kuat sebagai perajin batik.
Selain mencanting, Intan dan Vina yang tinggal di kawasan Cicadas, Kota Bandung ini juga mendesain, mewarnai, menyelup, memolet, dan menyelesaikan pelorodan. Biasanya untuk menyelesaikan sehelai kain batik, mereka butuh waktu satu minggu.
Tangan Intan dan Vina sangat terampil dalam menggunakan canting. Kain putih yang sudah mereka sketsa kemudian mulai dicanting dengan lilin khusus.
Mereka sangat mahir dalam memoles canting, bak perajin batik profesional, konsumen tidak akan sangka bila kain-kain batik yang dibelinya lahir dari tangan lihai seorang disabilitas.
Kain-kain batik karya Intan dan Vina sudah dikomersialisasikan. Mereka menjual dengan kisaran harga Rp100 ribu sampai Rp300 ribu. Paling mahal, mereka pernah menjual Rp1 juta kepada Siti Muntamah Oded.
Di tengah keterbatasan, Intan dan Vina menggali potensi agar bisa hidup mandiri. Berangkat dari keluarga tidak mampu, keduanya harus menelan pil pahit kehidupan ketika orangtua mereka bercerai.
Dibantu pendamping RBM, Intan menceritakan, selepas SMA dia bertekad mencari uang. Sedangkan adiknya, Vina, menyelesaikan sekolah DI SLB Sukapura.
Setiap hari, terutama Intan menyelesaikan helai demi helai kain batik, dan Vina baru membatik setelah sekolahnya selesai.
Intan dan Vina memperlihatkan kemampuan membatik di pameran Legenda Batik Parahyangan.