RADARBANDUNG.id- Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa varian baru Covid-19 B.1.1.529 atau Omicron telah menyebar ke 24 negara.
Amerika Serikat menjadi negara ke-24 yang Rabu lalu mengumumkan pasien pertama mereka dan beberapa negara yang dilaporkan telah menemukan Omicron, antara lain, Arab Saudi, Korea Selatan, Hongkong, dan Israel.
Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman menyebutkan, berdasar informasi WHO yang diterimanya, rata-rata pasien kasus Omicron di negara-negara tersebut bergejala ringan.
”Tapi perlu diingat, meski gejala ringan, tetap harus diwaspadai karena bukan berarti tidak ada konsekuensi serius jangka panjang,” jelas Dicky kepada Jawa Pos kemarin (2/12).
Ia mengatakan, negara-negara di dunia memiliki banyak opsi untuk membendung persebaran Omicron.
Mulai menggencarkan 5M sampai memberlakukan pembatasan perjalanan. ”Tentu keputusan pembatasan perjalanan memiliki konsekuensi tersendiri,” ujarnya.
Yang paling penting saat ini, kata Dicky, adalah menguatkan sistem pengawasan (surveilans) untuk melacak pasien Omicron lebih dini. Dicky juga menyatakan bahwa WHO menyimpulkan belum ada urgensi untuk mengembangkan vaksin baru. ”Belum ada bukti kuat bahwa Omicron bisa mengurangi efikasi vaksin,” jelasnya.
Profil lain dari Omicron adalah mutasinya yang mengakibatkan varian itu memiliki kemampuan transmisi lebih cepat. Namun, waktu inkubasinya masih sama dengan varian yang beredar sejauh ini. Belum ditemukan sampel yang terbukti memiliki masa inkubasi lebih panjang.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Tjandra Yoga Aditama mengungkapkan, setidaknya ada beberapa hal yang bisa dibaca dari persebaran Omicron di beberapa negara.
Kasus di Arab Saudi, misalnya, semestinya akan berpengaruh pada keputusan umrah. ”Persebaran di Korea Selatan menunjukkan varian ini mulai masuk Asia. Dampak varian ini memang amat luas,” terang Yoga.
Ia menjelaskan, setidaknya ada enam dampak dari Omicron yang saat ini dikhawatirkan banyak orang. Antara lain, tingkat penularan, kemungkinan perburukan (severity) penyakit, infeksi ulang terhadap para penyintas, dampak terhadap efikasi vaksin, serta penemuan treatment seperti penghambat reseptor interleukin-6 yang bermanfaat untuk menangani badai sitokin serta obat anti peradangan/inflamasi, yaitu kortikosteroid.
Ada juga kekhawatiran soal lolosnya varian tersebut dari deteksi tes molekuler seperti PCR dan antigen.