RADARBANDUNG.id, BANDUNG – Langkah Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang bergerak langsung melindungi dan memberikan pendampingan kepada korban pemerkosaan dinilai sudah tepat.
Pakar Hukum dari Universitas Katolik Parahyangan, Asep Warlan Yusuf, mengatakan korban harus menjadi prioritas untuk dilindungi. Di sisi lain, proses hukum kasus asusila, dalam hal ini melibatkan terdakwa Herry Wirawan terus berjalan.
Menurut dia, tidak dipublikasikan bukan berarti tidak diproses hukum. Hal ini pun bertujuan melindungi para korban, terutama psikologisnya. Dalam kasus asusila, para korban harus menjadi saksi dalam persidangan.
“Ada etika dalam hukum acara kejahatan kesusilaan. Satu di antaranya memang tidak diekspos. Bahkan untuk beberapa kasus, pelakunya pun tidak diekspos. Karena pada saat ia dihadapkan di pengadilan, saksi itu juga kan harus datang. Untuk menjadi saksi dalam kasus ini kan tidak mudah karena harus melihat pelakunya,” kata Asep saat dihubungi, Selasa (14/12).
Kelancaran persidangan, ditentukan oleh saksi yang mau menyatakan kejadian yang sebenarnya dengan jelas.
Maka saat bersaksi pun, jangan sampai kondisi psikologis korban terganggu. Bahkan korban harus didampingi psikolog, didampingi ahli kesehatan, dan didampingi orang terdekat korban.
Apalagi dalam kasus ini, katanya, para korbannya adalah anak-anak. Semua pihak harus memulihkan psikologis para korban supaya siap menjadi saksi di pengadilan. Dengan adanya kasus ini terekspos kepada publik, bahkan dicongkel berbagai informasinya mengenai korban, katanya, akan mempengaruhi kondisi para korban yang akan menjadi saksi tersebut.
“Makanya kami mengerti kalau diam-diam dulu, supaya proses-proses yang dijalankan oleh hakim dan pengadilan berjalan lancar dan saksinya mau bicara tanpa gangguan. Kalau sudah diputus, silakan,” katanya.
Ia mengatakan berdasarkan penelusurannya, para korban Herry Wirawan kembali mengalami trauma setelah kasus ini terekspos ke publik. Mereka, katanya, membaca berbagai berita di media, termasuk pembicaraan di media sosial.
“Kalau prespektif kesusilaan, melihat korban, maka kewajiban negara, kewajiban pemerintah, kewajiban penegak hukum, adalah melindungi korban. Itu harus dijalankan. Makanya pihak pemerintah dan penegak hukum itu memastikan bahwa korban mendapat perlindungan dan hak-haknya,” ujar Asep.
“Jadi bukan tidak mau diekspos, tapi problemanya adalah ketika ini terekspos keluar bahkan disebutkan siapa korbannya, itu akan menjadi pelanggaran terhadap hak-hak korban,” katanya.
Adapun jika publik itu menyoroti pelakunya, hal ini diperbolehkan. Asalkan, katanya, jangan sampai mengorek informasi mengenai korban. Karena hal ini tertera dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Anak.
“Saya mengobrol dengan teman-teman di Garut dengan dinas-dinas yang menangani perlindungan anak. Mereka sebetulnya bukan menutupi perbuatan jahat, tapi ini hanya untuk sebatas melindungi korbannya. Yang sudah ada trauma healing berkali-kali dengan anaknya keluarganya, ketika ini terekspose lagi, jadi lagi traumanya,” katanya.
Ia meminta semua pihak untuk betul-betul menjaga para korban, bukan malah mengeksploitasi para korban untuk berbagai kepentingan. Hal ini, katanya, malah akan merugikan para korban yang sudah cukup menderita akibat Herry Wirawan. (dbs)