RADARBANDUNG.id- Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan angkat bicara soal perempuan berjilbab di Semarang menikah di gereja yang videonya viral di media sosial.
Amirsyah mengatakan, pernikahan dalam Islam adalah suatu perjanjian suci antara laki-laki dan perempuan yang ingin melanjutkan hubungan yang sah secara syar’i.
“Sehingga halal menjadi pasangan suami istri guna mengikat janji untuk menyatakan bahwa sudah siap membangun rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah,” ujar Amirsyah kepada JPNN.com, Selasa (8/3).
Sementara, Amirsyah menegaskan berdasarkan Fatwa MUI bahwa pernikahan beda agama itu haram dan tidak sah. yang dimaksud Amirsyah ialah Fatwa MUI Nomor:4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama.
“Perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut Qaul Mu’tamad adalah haram dan tidak sah,” ujar Amirsyah.
Hal itu juga sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
“Pada Pasal 2 Ayat 1 berbunyi perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Ayat 2 berbunyi tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku,” jelas Amirsyah.
Amirsyah berharap kasus nikah beda agama di Indonesia tidak terulang kembali. “Penting dilakukan upaya untuk menyadarkan masyarakat agar soal perkawinan dalam rumah tangga tidak menimbulkan mafsadat di kemudian hari,” ujar Amirsyah.
Berikut isi lengkap Fatwa MUI Nomor:4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama:
MUI dalam Musyawarah Nasional MUI VII pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H/ 26-29 Juli 2005 M setelah: Menimbang:
1.Bahwa belakangan ini disinyalir banyak terjadi perkawinan beda agama.
2.Bahwa perkawinan beda agama ini bukan saja mengundang perdebatan di antara sesama umat Islam, akan tetapi juga sering mengundang keresahan di tengah-tengah masyarakat.
3.Bahwa di tengah-tengah masyarakat telah muncul pemikiran yang membenarkan perkawinan beda agama dengan dalih hak asasi manusia dan kemaslahatan.
4.Bahwa untuk mewujudkan dan memelihara ketentraman kehidupan berumah tangga, MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang perkawinan beda agama untuk dijadikan pedoman.
Serta mengingat: sejumlah Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surah Al-Nisa [4]:3, Al-Rum [30]: 21, Al-Tahrim [66]: 6, Al-Maidah [5]: 5, Al-Baqarah [2]: 221, Al-Mumtahanah [60]: 10, Al-Nisa [4]: 25, sebuah hadis Rasul Allah SAW riwayat Muttafaq Alaih dari Abi Hurairah r.a, dan sebuah Kaidah Fiqih.
Memperhatikan:
1.Fatwa MUI dalam Munas II tahun 1400/1980 tentang Perkawinan Campuran.
2.Pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa pada Munas VII MUI 2005.
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT, memutuskan dan menetapkan Fatwa Tentang Perkawinan Beda Agama.
1.Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.
2.Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu’tamad, adalah haram dan tidak sah.
Ditetapkan di Jakarta, 28 Juli 2005 dan ditandatangani Ketua Sidang Komisi C Bidang Fatwa Munas VII MUI KH Ma’ruf Amin dan sekretaris Hasanuddin.
Halaman Berikutnya: Reaksi Wamenag Zainut Tauhid Sa’adi