OPINI
Penulis: Sri Ayu Andayani
Dekan Faperta UNMA Majalengka
SEKTOR pertanian mempunyai peran penting dan strategis dalam pembangunan ekonomi bangsa. Sektor pertanian juga sebagai pemasok bahan kebutuhan pangan masyarakat Indonesia, sehingga keberlanjutan dari sektor ini sangat diharapkan.
Sektor pertanian masih mendominasi sebagai sektor terbesar lapangan pekerjaan masyarakat Indonesia yaitu sebesar 31,86% (BPS,2020) dibandingkan dengan sektor lainnya serta pada Agustus 2020 mampu tumbuh lagi hingga 29,76% dan pada tahun 2020 ini mampu menyerap tenaga kerja sebesar 2,23% pada sektor pertanian (BPS,2020). Keberadaan dan peran petani dibutuhkan dalam keberlanjutan sektor ini.
Namun demikian, sektor pertanian merupakan sektor yang selalu berhubungan dengan risk dan uncertainty, dalam sektor ini ada petani subsisten yaitu petani yang melaksanakan usahatani hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan petani yang sudah profit orientation.
Petani dalam konteks disini adalah: (1) petani yang berusaha di sub sektor tanaman pangan mencakup petani yang berusahatani padi dan palawija, (2) petani yang berusaha di sub sektor hortikultura mencakup petani sayuran, buah-buahan, (3) petani yang berusaha di perkebunan rakyat, (4) petani peternak yang berusaha ternak besar, ternak kecil, unggas dan hasil peternakan lainnya, dan (5) petani nelayan.
Fenomena saat ini terjadi peningkatan petani berusia tua dibandingkan dengan petani usia muda. Kajian Susilowati (2014) menjelaskan bahwa proporsi petani dengan usia lebih dari 40-54 tahun sebesar 41% sedangkan petani dengan kelompok usia lebih dari 55 tahun sebesar 27%, tetapi kelompok petani dengan usia muda yang kurang dari 35 tahun hanya sebesar 11%, bahkan pada tahun 2020 petani muda (20-39 tahun)semakin menurun yaitu hanya 8% atau sekitar 2,7 juta orang dari total petani kita 33,4 juta orang dan sisanya lebih dari 90% adalah kelompok petani usia tua (kementan, 2020).
Kondisi demikian perlu disikapi bersama oleh berbagai pihak terkait karena akan mempengaruhi terhadap keberlanjutan sektor pertanian, salah satunya bagaimana masyarakat tani dapat memahami dan melaksanakan akses keuangan sebagai pendukung kegiatannya di sektorusahanya jika saat ini banyak didominasi petani tua yang masih agak sulit terhadap berbagai akses inovasi teknologi.
Seperti halnya yang terjadi saat ini melalui pemberian subsidi pupuk dengan mekanisme kartu tani yang melibatkan industri jasa keuangan (perbankan), kondisi ini menimbulkan tidak optimalnya petani memanfaatkan sistem ini dikarenakan petani kurang pemahaman terhadap sistem tersebut.
Keuangan inklusif merupakan suatu situasi dan kondisi Ketika masyarakat mempunyai akses terhadap berbagai layanan keuangan formal yang disesuaikan kebutuhan serta kemampuan masyarakat, hal ini bertujuan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat tak terkecuali masyarakat tani.
Baca Juga: DKPP Pemkot Bandung Beri Pelatihan Pertanian Gratis Lewat Program Ngawadahan
Melalui inklusi keuangan ini diharapkan memberikan kesempatan pada semua orang termasuk para petani untuk bisa melaksanakan persiapan dalam membuat perencanaan keuangan secara matang dalam semua kegiatannya. Salah satu indikator kesejahteraan petani dapat dilihat melalui Nilai Tukar Petani (NTP), yaitu mengukur daya tukar dari komoditas pertanian yang dihasilkan petani terhadap produk yang dibeli petani dalam hal ini untuk keperluan konsumsi dan memproduksi usahatani.
Dalam NTP ini petani perlu mengelola secara tepat berapa hasil yang diperoleh dari produk yang dijualnya dan berapa yang harus dibayarkan untuk memenuhi keperluan konsumsi dan kebutuhan produksi usahataninya. Dengan demikian literasi keuangan ini adalah hal yang perlu ditingkatkan karena merupakan salah satu alat bantu petani atau masyarakat jika menginginkan passive income melebihi active income.
Baca Juga: Ratusan Komoditas Pertanian Diekspor ke 180 Negara Via Pos
Petani sering identik dengan pendapatan rendah dan tidak pasti, sering gagal panen, maka masalah keuangan sering dihadapi. Kondisi demikian, petani bukan hanya perlu diberikan pemahaman tentang keuangan secara meningkat dengan sasaran bukan hanya mengetahui fitur-fitur keuangan tetapi perlu pemahaman yang tinggi terkait pemanfaatan yang tepat dari produk jasa keuangan.
Namun demikian, fenomena saat ini banyak petani yang belum memanfaatkan produk dan jasa layanan keuangan yang telah difasilitasi pemerintah, hal tersebut dikarenakan oleh terbatasnya media edukasi dan sosialisasi terhadap masyarakat tani baik melalui penyuluh (Dinas terkait) serta Lembaga keuangan.