RADARBANDUNG.id- MENAMBANG koin kripto atau mining memberikan dampak yang kurang baik bagi lingkungan. Pasalnya, kegiatan mining akan menggunakan batu bara sebagai bahan bakar utama listrik.
Hal itulah yang kemudian melatarbelakangi munculnya token ramah lingkungan. Token tersebut bernama Alam Hijau Anagata alias token AHA.
Sesuai namanya, token Alam Hijau Anagata hadir dengan visi misi yang berorientasi pada penyelamatan lingkungan hijau. Berkebalikan dari token kripto pada umumnya, Anagata tak hanya memberikan keuntungan pada investornya saja melainkan juga keuntungan bagi lingkungan.
Berikut adalah informasi yang bisa Anda pahami seputar token Alam Hijau Anagata (AHA).
Token AHA: Token Ramah Lingkungan dengan Proyek Energi Hijau
Visi utama dari Anagata adalah untuk menjadi token yang terbesar dan terpercaya dari Indonesia dalam mengurangi emisi karbon.
Mengingat emisi karbon inilah yang kini menjadi masalah pelik baik di Indonesia maupun secara global sebab mengancam keselamatan lingkungan hijau. Agar bisa mencapai visinya tersebut, Anagata mewujudkannya dengan cara berkolaborasi dalam proyek energi hijau dan proyek bisnis hijau.
Caranya adalah dengan mengawasi transisi energi di Indonesia menjadi energi hijau serta ikut berkontribusi dalam proyek yang berhubungan dengan energi hijau meliputi perdagangan karbon, konservasi pengolahan air dan udara, maupun entitas lainnya yang memiliki value business.
Dalam kata lain, token kripto AHA dimulai dari Indonesia, akan mendukung segala proyek hijau global dengan nilai ekonomi berkelanjutan di masa depan. Sebagaimana yang dikutip dari white paper bahwa Anagata akan lebih berfokus untuk berkolaborasi dengan para stakeholder di Indonesia dalam kurun waktu 5 tahun.
Tujuan kolaborasi ini adalah agar bisa mencapai bauran energi sebesar 23% dari energi baru terbarukan pada tahun 2025 sejalan dengan target pemerintah.
Dalam hal ini proyek dasar yang menjadi fokus AHA adalah proyek solar PV serta Carbon Trade Platform. Dimana alasan proyek dasar tersebut dipilih karena Indonesia yang letaknya berada di bawah garis khatulistiwa memiliki potensi 207 GW (Giga Watt) proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dengan estimasi nilai USD 140 miliar serta pengurangan karbon dioksida miliaran ton.