RADARBANDUNG.id – Pengamat ekonomi Aji Sofyan Effendi menilai, dugaan pengemplangan pajak PT DFT di Sumedang terkait erat dengan sangkaan kasus pelanggaran perizinan perusahaan tersebut. Artinya, laporan pajak yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya, diperkirakan sebagai upaya perusahaan untuk menutupi penghasilan mereka dari penjualan air kepada industri yang juga ditengarai ilegal.
“Kalau sudah starting point-nya salah, biasanya menengah dan ujungnya juga salah. Jadi sekali berbohong, maka berikutnya akan bohong terus untuk menutupi kebohongan sebelumnya. Saya menduga, ini untuk menutupi dugaan pelanggaran perizinan pengambilan air sekaligus penjualan ke industri tanpa izin,” kata Aji dalam keterangannya hari ini.
Karena itulah Aji meminta aparat berwenang untuk segera menuntaskan kasus ini. Karena jika dugaan kasus pengemplangan pajak oleh PT DFT dibiarkan, akan memunculkan efek domino yang juga luar biasa. Terlebih, dugaan pengemplangan pajak sudah berlangsung lama, yakni sekitar delapan tahun. Dimana selama itu pula, PT DFT diduga mengambil air dari mata air tanpa izin, sekaligus menjualnya secara komersial juga tanpa izin. Kerugian negara, diperkirakan mencapai Rp200 miliar.
“Dalam hal ini, DJP Kanwil Jawa Barat dan BPK harus pro aktif melakukan pemeriksaan. Harus juga dilakukan audit forensik terhadap laporan pajak yang sudah disampaikan tahun-tahun sebelumnya. Termasuk juga laporan keuangan perusahaan,” kata Aji.
Kasus yang melibatkan PT DFT di Sumedang, memang sudah menjadi isu nasional. Tak kurang anggota DPR TB Hasanuddin, pernah menyoroti kasus tersebut.
Selain dugaan bahwa perusahaan melakukan pengambilan air tanpa izin dan juga menjual ke industri tanpa izin, DFT juga diduga melakukan pengemplangan pajak. Dalam hal ini, perusahaan tersebut diduga tidak membayar pajak selama delapan tahun. Perusahaan diduga tidak melaporkan pajaknya secara benar dan jauh lebih kecil dari nilai sesungguhnya.
Terkait hal itu, perusahaan ditengarai melanggar UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Pajak Pasal 38 (b). Secara garis besar, pasal tersebut menjelaskan, wajib pajak yang menyampaikan pemberitahuan (SPT Tahunan) tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugian pendapatan negara, akan dikenakan saksi denda paling sedikit satu kali jumlah pajak terutang, atau yang kurang dibayar dan paling banyak dua kali jumlah pajak terutang yang tidak dibayar atau kurang bayar. Atau, sanksi pidana kurangan paling singkat tiga bulan atau paling lama satu tahun.
Dalam kasus tersebut, perusahaan diduga merugikan keuangan negara. Besarnya potensi kehilangan pendapatan negara sendiri, bisa didasarkan atas data yang dikeluarkan PT DFT. Melalui situs perusahaan tersebut, tertulis bahwa debit pemakaian oleh sejumlah industri besar, adalah 4.896 m3 per hari. Dengan asumsi bahwa PT DFT menjual kepada konsumen Rp10.000/m3, maka dalam sehari dugaan kerugian sekitar Rp48juta. Artinya, dalam setahun, dugaan kerugian adalah 365 x Rp48 juta atau sekitar Rp17,5 miliar per tahun. Bahkan TB Hasanuddin menduga, bahwa kerugian negara selama delapan tahun, mencapai Rp200 miliar.