Catatan H Maman Juherman
GELOMBANG aksi menolak kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal kenaikan harga BBM bersubsidi, terus berlanjut. Mulai dari tingkat pusat (Jakarta), hingga ke daerah, tiada hari tanpa unjukrasa menolak kenaikan BBM atau menuntut diturunkannya kembali BBM bersubsidi.
Kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar 30 persen lebih sejak 3 September 2022, dirasa sangat memberatkan masyarakat. Betapa tidak, dengan naiknya harga BBM otomatis menggerek naik semua harga barang dan harga bahan pokok. Inflasi pun sulit dikendalikan.
Solusi yang diberikan pemerintah untuk masyarakat miskin, berupa BLT (Bantuan Langsung Tunai) sepertinya tidak bisa menyelesaikan masalah.
Malah terkesan, BLT hanya untuk “Menina-bobokan” masyarakat. Mengapa? Karena bantuan yang diterima setiap kepala keluarga (KK) sebesar Rp 600 ribu per bulan, tidak seimbang dengan kenaikan harga bahan pokok dan semua harga barang yang melonjak tajam.
BLT BBM sifatnya hanya sementara. Berapa lama pemerintah mampu menyalurkan BLT BBM? Paling banter enam bulan. Sedangkan kenaikan harga BBM dan harga semua barang adalah permanen.
Belum lagi, BLT BBM tidak tepat sasaran. Tidak sedikit masyarakat miskin yang selama ada BLT, belum pernah tersentuh. Demikian juga dengan BLT BBM sekarang, karena data base penyaluran BLT yang dimiliki pemerintah, tidak direvisi.
Wajar, kalau para mahasiswa bersama buruh dan elemen masyarakat lainnya, turun ke jalan menyuarakan aspirasi masyarakat.
Bukan hanya ribuan, bahkan jutaan legislator jalanan yang dimotori massa mahasiswa saja, yang menuntut penurunan kembali harga BBM bersubsidi. Tapi juga para wakil rakyat di DPR RI, sebagian besar fraksi dari jauh-jauh hari menyatakan menolak kebijakan menaikan harga BBM bersubsidi.
Ada enam fraksi di DPR RI yang secara tegas menolak kenaikan BBM. Yakni, F-PKS, F-DEMOKRAT, F-GERINDRA, F-PGOLKAR, F-PPP dan F-PKB. Sedangkan tiga fraksi lainnya, yaitu F-PDIP, F-NASDEM dan F-PAN menyatakan abstain.
Bahkan, F-PKS selain secara tegas melakukan aksi Walk Out (WO) saat sidang paripurna DPR RI menanggapi kenaikan harga BBM bersubsidi secara tiba-tiba, juga melayangkan surat terbuka ke Presiden Jokowi tentang penolakan kenaikan harga BBM bersubsidi.
“Sudah jauh-jauh hari, sebelum pemerintah menaikan BBM, dalam rapat kerja di Komisi VI dengan Pertamina, kami menanyakan langsung kepada Dirut Pertamina, apakah tahun ini, ada rencana kenaikan BBM? Dia jawab tidak ada. Begitu juga kepada Presiden Jokowi kami pernah menanyakannya, jawabnya sama tidak ada rencana kenaikan BBM. Ehhh tiba-tiba, BBM dinaikan. Kalau hanya 3 persen wajar, ini sangat mengganggu hajat hidup orang banyak,” papar Amin AK, anggota Komisi VI DPR RI dari F-PKS kepada wartawan MNC.
Keputusan pemerintah menaikan harga BBM bersubsidi, selain kenaikannya cukup tinggi, juga terkesan “main petak umpet”. Awalnya, rencana kenaikan diumumkan tanggal 1 September 2022, karena banyak yang kontra, batal. Ternyata, secara tiba-tiba diumumkan tanggal 3 September 2022 siang hari.
Bagai “Anjing menggonggong kafilah berlalu”, aksi menuntut penurunan kembali harga BBM bersubsidi ini. Demo yang masif, ditanggapi pasif Presiden Jokowi. Presiden beserta menterinya bergeming. Sepertinya kukuh terhadap pendiriannya, tidak mau menurunkan kembali harga BBM bersubsidi, meski harga minyak mentah dunia telah turun.
Pemerintah menganggap, pemberian subsidi BBM kepada masyarakat menjadi beban. Padahal, itu merupakan kewajiban pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya.
Subsidi harga BBM di Indonesia, relatif rendah bila dibandingkan dengan negara tetangga. Contoh Malaysia. Harga BBM di sana relatif murah, karena subsidi yang diberikan pemerintah sangat besar.
Ataukah Jokowi takut dicemoohkan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri disebut “Main Yoyo jilid dua”, bila berani menurunkan kembali harga BBM bersubsidi.
Masih ingat di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono? Waktu itu, SBY menaikan harga BBM bersubsidi, tapi selang beberapa hari diturunkan kembali. Itu dicemoohkan Megawati Soekarnoputri, “Kaya main yoyo aja naek turun”, seloroh Mega dengan nada sinis.
Setiap harga minyak mentah dunia naik, pemerintah selalu panik. Sudah menjadi langganan, pasti akan diikuti dengan kenaikan harga BBM. Ini akibat Indonesia kekurangan atau tidak bisa memenuhi kebutuhan minyak, baik minyak mentah, mapun minyak matanv. Padahal kilang minyak cukup melimpah di negara kita. Apalagi dengan minyak matang yang impor dari negara tetangga.
Sebaiknya pemerintah punya visi jangka panjang dengan meningkatkan produksi minyak mebtah. Baik secara kuantitas maupun kualitas.
Kebutuhan konsumsi minyak mentah, tercatat 800 ribu barel per hari. Sementara, listing hanya mampu 600 ribu barel per hari. Target APBN 700 ribu barel per hari.
Kenapa pemerintah dari dulu tidak mampu meningkatkan listing minyak mentah? Sedangkan sumber minyak ada di Indonesia?
Semua orang tahu, dunia tahu, Indonesia kaya akan sumber minyak. Kilang minyak dimana-mana.
Tapi pemerintah tidak bisa mengoptimalkan teknologi kilang minyak. Baik untuk meningkatkan kuantitas dari listing 600 ribu barel per hari menjadi 800 ribu barel per hari, untuk memenuhi kebutuhan konsumsi.
Demikian pula, perlunya peningkatan kualitas teknologi modern. Selama ini, Indonesia hanya bisa ekspor minyak mentah, alangkah lebih baiknya bila ditingkatkan menjadi ekspor minyak matang. Paling tidak bisa memenuhi minyak matang untuk kebutuhan konsumsi sendiri.
Selisihnya sangat tinggi. Dari ekspor minyak mentah dan impor minyak matang, saat sekarang mencapai 15 US dolar per barel.
Ironisnya, Indonesia mengekspor minyak mentah dengan harga rendah dan mengimpor minyak matang dengan harga tinggi, ke negara tetangga yang tidak ada sumber minyaknya, seperti Singapura.
Bisa dihitung, berapa barel ekspor minyak mentah dan berapa barel impor minyak matang setiap harinya. Sehingga berapa ribu US dolar devisa yang masuk ke Singapura yang negaranya tidak lebih luas dari DKI Jakarta.
Ini yang seharusnya menjadi kajian pemerintah. Mengapa tidak memprioritaskan untuk meningkatkan teknologi pengolahan minyak? Malah mendahulukan pembangunan kereta cepat Jakarta – Bandung yang hanya untuk memenuhi kebutuhan minoritas?
Kalau pemerintah lebih mengutamakan meningkatkan teknologi produksi minyak. Dipastikan untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri, tidak akan tergantung impor dari luar. (*)