RADARBANDUNG.id – Hukum menikah dalam Islam – Menikah merupakan ibadah yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW bagi mereka yang memiliki kemampuan untuk melaksanakannya.
Secara kebahasaan, nikah bermakna “berkumpul”. Sedangkan menurut istilah syariat, dikutip dari laman NU online, definisi nikah terdapat dalam penjelasan Syekh Zakariya Al-Anshari dalam kitab Fathul Wahab:
كتاب النكاح. هُوَ لُغَةً الضَّمُّ وَالْوَطْءُ وَشَرْعًا عَقْدٌ يَتَضَمَّنُ إبَاحَةَ وَطْءٍ بِلَفْظِ إنْكَاحٍ أَوْ نَحْوِهِ
Artinya, “Kitab Nikah. Nikah secara bahasa bermakna ‘berkumpul’ atau ‘bersetubuh’, dan secara syara’ bermakna akad yang menyimpan makna diperbolehkannya bersetubuh dengan menggunakan lafadz nikah atau sejenisnya.”
Bagaimana hukum menikah dalam agama Islam?
Hukum asal menikah adalah sunah bagi seseorang yang memang sudah mampu untuk melaksanakannya. Namun, bisa berubah disesuaikan dengan kondisi dan situasi seseorang yang akan menikah.
Hal itu sebagaimana dijelaskan dari sudut pandang hukum, Sa‘id Mushtafa Al-Khin dan Musthafa al-Bugha, Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imamis Syâfi’i:
حُكم النِكَاحِ شَرْعُا للنكاح أحكام متعددة، وليس حكماً واحداً، وذلك تبعاً للحالة التي يكون عليها الشخص
Artinya, “Hukum nikah secara syara’. Nikah memiliki hukum yang berbeda-beda, tidak hanya satu. Hal ini mengikuti kondisi seseorang (secara kasuistik),”
Dari keterangan itu, hukum menikah akan berbeda disesuaikan kondisi seseorang dan bersifat khusus, sehingga hukum pernikahan tidak bisa digeneralisasi. Lebih lanjut, dirincikan hukum-hukum menikah sebagai berikut:
Hukum pernikahan dalam Islam
1. Sunah
Hukum menikah adalah sunah karena nikah sangat dianjurkan oleh Rasulullah. Hukum asal nikah adalah sunah bagi seseorang yang memang sudah mampu untuk melaksanakannya sebagaimana hadits Nabi riwayat Al-Bukhari berikut ini:
يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج، فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج، ومن لم يستطع فعليه بالصوم، فإنه له وجاءٌ
Artinya, “Wahai para pemuda, jika kalian telah mampu, maka menikahlah. Sungguh menikah itu lebih menenteramkan mata dan kelamin. Bagi yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa bisa menjadi tameng baginya.”
2. Sunah ditinggalkan
Menikah dianjurkan atau disunahkan baiknya tidak dilakukan. Ini berlaku bagi seseorang yang sebenarnya menginginkan untuk menikah, namun tidak memiliki kelebihan harta untuk biaya menikah dan menafkahi istri.
Dalam kondisi ini sebaiknya orang tersebut menyibukkan dirinya untuk mencari nafkah, beribadah dan berpuasa sambil berharap semoga Allah mencukupinya hingga memiliki kemampuan. Hal ini senada dengan firman Allah SWT Surat An-Nur ayat 33:
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحاً حَتَّى يُغْنِيَهُمْ اللَّهُ مِن فَضْلِه ِ
Artinya, “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.”
Dalam konteks ini, jika orang tersebut tetap memaksakan diri menikah, maka ia dianggap melakukan tindakan yang dihukumi khilaful aula, yakni kondisi hukum ketika seseorang meninggalkan apa yang lebih baik untuk dirinya.