RADARBANDUNG.id- Tragedi kerusuhan pascapertandingan Arema FC melawan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan tadi malam (1/10) dipastikan menjadi tragedi sepak bola terburuk dalam sejarah Indonesia. Total, 127 orang meninggal dunia sebagai dampak dari kerusuhan tersebut.
Dalam konferensi pers di Polresta Malang dini hari tadi (2/10), Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Nico Afinta mengatakan bahwa pihaknya mendapatkan data bahwa sebanyak 127 orang menjadi korban kerusuhan di Stadion Kanjuruhan.
Menurut Nico, dua di antara 127 orang yang meninggal adalah anggota polri. Sementara, 34 orang meninggal dalam kerusuhan di dalam Stadion Kanjuruhan. Sedangkan 93 orang meninggal dunia di rumah sakit.
Baca Juga: Liga 1 Dihentikan Satu Pekan Buntut Tragedi Kanjuruhan
Selain itu, imbas dari kerusuhan Kanjuruhan ini, ada 13 mobil yang rusak. Sebanyak 10 mobil adalah mobil dinas polisi. Sedangkan dua mobil lainnya adalah kendaraan pribadi.
Sementara itu, ada 180 orang yang masih menjalani proses perawatan intensif di rumah sakit. “Sebanyak 40 ribu penonton itu tidak semuanya anarkis. Hanya sebagian saja. Sekitar 3.000-an orang yang turun ke lapangan,” ucap Nico.
Baca Juga: 127 Orang Meninggal Dunia dalam Tragedi Kanjuruhan Pascalaga Arema FC vs Persebaya
“Ada beberapa hal yang ingin kami sampaikan. Kalau semua mematuhi aturan, maka kami akan mampu mengantisipasi dengan baik. Jadi ada sebab dan akibatnya,” ujar Nico.
“Kami akan melakukan upaya-upaya, berbicara dengan stakeholder agar tragedi ini tidak terjadi lagi,” tambahnya.
Awal mula kerusuhan di Kanjuruhan
Nico mengatakan bahwa awal mula terjadinya kerusuhan adalah kekecewaan yang memuncak dari Aremania. Sebab, untuk kali pertama dalam 23 tahun terakhir, Arema dikalahkan Persebaya di Malang dengan skor 2-3.
Rasa kekecewaan yang dalam itulah yang membuat Aremania turun ke tengah lapangan.
Menurut Kapolda, awalnya hanya sedikit yang turun ke lapangan dan mencari pemain dan ofisial Arema. “Mereka bertanya, mengapa bisa kalah melawan Persebaya?” kata Nico.
Setelah itu, polisi melakukan pengamanan kepada pemain dan pencegahan agar aksi kekerasan tidak meluas. Polisi lalu menghalau penonton agar tidak menginvasi lapangan dan mencari para pemain.
Dalam proses penghalauan tersebut, polisi kemudian menembakkan gas air mata. “Itu dilakukan karena mereka mulai menyerang petugas dan merusak mobil,” ucap Nico. Setelah gas air mata ditembakkan ke lapangan dan mengarah ke tribun, para penonton berhamburan dan keluar ke satu titik yakni pintu 10.
Lalu di sanalah tragedi terjadi. Penonton mengalami penumpukan. Mereka berdesak-desakan. Dan pada saat itulah, banyak penonton yang kekurangan nafas dan oksigen. Puluhan orang meninggal dengan lemas di dalam stadion.
“Ada upaya penolongan dari tim medis dan evakuasi ke rumah sakit. Tetapi banyak yang tidak terselamatkan,” ucap Nico.