RADARBANDUNG.id- Bagaimana hukum mempercayai dukun dalam Islam? Alih-alih berobat ke dokter, masih ada masyarakat yang mempercayai orang yang dianggap sakti dan bisa menyembuhkan penyakit dengan cara-cara mistis alias dukun.
Bukan hanya untuk berobat, dukun juga menjadi tempat mengadu persoalan hidup, mulai dari masalah ekonomi, jodoh, karier, atau hal lainnya. Dikutip dari laman NU Online, praktik dukun sudah dikenal sejak pra Islam.
Arti dukun dan hukum mempercayainya dalam Islam
Dalam bahasa Arab, dukun diistilahkan dengan kahânah yang diartikan adalah menginformasikan hal-hal yang tidak bisa diketahui manusia pada umumnya (gaib). Orang yang mempercayai dukun dinamakan kâhin.
Baca Juga: Doa Tolak Santet dalam Islam agar Terhindar dari Sihir
Imam an-Nawawi membedakan istilah kâhin dengan ‘arrâf kendati kita sama-sama haram untuk mempercayainya.
Menurut an-Nawawi, kâhin adalah orang yang dianggap sakti karena mampu mengetahui peristiwa yang akan terjadi dan mengaku bisa mengetahui hal-hal yang tidak bisa diketahui orang pada umumnya. Seorang dukun biasanya mengklaim bisa memperbantukan jin (khadam) untuk melancarkan aksinya.
Sementara ‘arrâf adalah orang yang dianggap sakti karena mengklaim dirinya bisa mengetahui keberadaan barang yang dicuri, sesuatu yang hilang dan hal-hal semacamnya.
Macam-macam dukun
Al-Qadhi ‘Iyadh membagi kategori dukun (kâhin) secara detail menjadi 3 jenis, yakni:
1. Dukun atau orang yang mengaku sakti karena memiliki pembantu (khadam) berupa jin yang bertugas mencuri dengar perbincangan malaikat tentang perkara gaib semisal suratan takdir manusia. Jenis pertama ini sudah tidak ada sejak Nabi Muhammad diutus.
2. Adapun kategori dukun yang kedua adalah orang yang mengaku sakti sebab bisa menginformasikan hal-hal yang tidak bisa dijangkau manusia normal seperti keberadaan barang yang hilang karena dicuri.
Model yang kedua ini bisa benar dan juga berbohong, tapi kita dilarang untuk mempercayainya. Dukun seperti ini masih banyak ditemukan.
3. Ahli nujum, jenis dukun ini masih bisa dipercayai tapi banyaknya berdusta. Termasuk jenis yang ketiga ini adalah ‘arrâf.
Setelah merinci pembagian dukun tersebut, al-Qadhi ‘Iyadh menegaskan hukum mempercayai dukun, “Semua jenis dukun tersebut bertentangan dengan syari’at dan kita haram untuk mempercayainya.”
Hadits larangan mendatangi dukun
Dalam beberapa kesempatan, Nabi Muhammad SAW juga menyampaikan larangan mempercayai dukun. Salah satunya adalah sabda beliau:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
Artinya, “Barangsiapa yang mendatangi seorang peramal dan bertanya kepadanya tentang suatu perkara, maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh hari.” (HR Muslim)
Maksud hadits tersebut adalah orang yang berkonsultasi kepada seorang dukun tidak akan mendapatkan pahala shalatnya selama 40 hari. Status shalatnya tetap sah sehingga tidak ada kewajiban mengqadha.
Seperti orang yang shalat di tempat hasil ghashab, shalatnya sah tapi tidak mendapat pahala ibadahnya.
Dalam hadits lain, Nabi SAW menyampaikan, orang yang berkonsultasi ke dukun atau peramal kemudian mempercayai ucapannya, maka ia telah dianggap kafir.
Rasulullah bersabda: مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
Artinya, “Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang ramal dan dia membenarkan ucapannya, maka dia berarti telah kufur pada Al-Quran yang telah diturunkan pada Muhammad.” (HR Ahmad).