RADARBANDUNG.id- HASIL pemeriksaan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan menyatakan bahwa pengurus PSSI harus bertanggung jawab atas peristiwa yang menewaskan ratusan suporter pasca laga Arema FC melawan Persebaya Surabaya, 1 Oktober 2022.
“Dalam catatan kami, disampaikan bahwa pengurus PSSI harus bertanggung jawab, dan sub-sub organisasinya,” ujar Ketua TGIPF Mahfud MD usai menyampaikan laporan kepada Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (14/10).
Mahfud mengatakan bahwa tanggung jawab itu didasarkan pada aturan-aturan resmi yang secara hukum. Juga ada tanggung jawab secara moral. “Karena tanggung jawab itu, kalau berdasar aturan, itu tanggung jawab hukum. Tapi hukum sebagai norma sering kali tidak jelas, sering kali bisa dimanipulasi, maka naik ke asas,” kata Mahfud MD.
Baca Juga: Tragedi Kanjuruhan, Personel Polresta Malang Bersujud Mohon Maaf
“Tanggung jawab asas hukum itu apa? Keselamatan rakyat itu adalah hukum yang lebih tinggi dari hukum yang ada, dan ini sudah terjadi, keselamatan rakyat, publik, terinjak-injak,” jelas Mahfud MD.
Selain itu, terdapat pula tanggung jawab moral atas peristiwa tersebut. Mahfud mengungkapkan bahwa TGIPF memberikan catatan akhir yang kemudian digarisbawahi oleh Presiden Jokowi.
Baca Juga: Puluhan Ribu Suporter Arema Kembali ke Stadion Kanjuruhan
Polri diminta meneruskan penyelidikan tindak pidana terhadap orang-orang lain yang diduga kuat terlibat dan harus ikut bertanggung jawab secara pidana dalam kasus tersebut.
“TGIPF punya temuan-temuan indikasi untuk bisa didalami Polri. Adapun tanggung jawab moral dipersilakan masing-masing melakukan langkah-langkah yang diperlukan sebagai bentuk pertanggungjawaban manusia Indonesia yang berkeadaban,” kata Mahfud MD yang juga Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan tersebut.
Mahfud mengatakan bahwa laporan dan catatan yang dibuat TGIPF berdasarkan pada analisis dari berbagai sumber. Salah satunya rekaman kamera pengawas (CCTV) dari aparat keamanan.
“Fakta kami temukan proses jatuhnya korban itu jauh lebih mengerikan dari yang beredar di TV maupun medsos (media sosial), karena kami merekonstruksi dari 32 CCTV yang dimiliki oleh aparat,” jelasnya.
Korban meninggal dunia, cacat, maupun kritis dipastikan terjadi akibat berdesak-desakan setelah polisi menyemprot gas air mata. Terkait tingkat bahaya atau racun dari gas air mata itu, katanya, saat ini sedang dilakukan pemeriksaan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
“Tetapi, apa pun hasil pemeriksaan BRIN, tidak bisa mengurangi kesimpulan bahwa kematian massal terutama disebabkan oleh gas air mata,” tegasnya.