RADARBANDUNG.id- FILM menjadi salah satu medium yang bisa digunakan untuk sarana mengedukasi masyarakat. Namun bagi insan perfilman sendiri, tidak mudah karena sering bersinggungan dengan regulasi dan biaya yang tidak murah.
Hal itu menjadi bahasan penting dalam webinar yang digelar Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat yang berkolaborasi dengan Rumpun Indonesia pada Jumat (16/12/2022).
Webinar tersebut digelar dalam rangka memperingati Hari Hak Asasi Manusia Sedunia 2022 yang mengusung tema “Berkebudayaan, Berkemanusiaan”, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat bersama Rumpun Indonesia menggelar rangkaian webinar dengan tema “Berekspresi dan berpartisipasi dalam kegiatan kebudayaan adalah hak setiap anggota masyarakat” pada Jumat 16 Desember 2022 hingga Minggu 18 Desember 2022.
Baca Juga: Info Jadwal Film, Bioskop Cinema XXI Bandung dan Harga Tiket
Hadir sebagai narasumber dalam webinar tersebut yakni Anggi Frisca dari Aksa Bumi Langit dan Sammaria Simanjuntak dari Pomp Film.
Sammaria mengatakan, saat ini film masih dianggap sebagai hiburan, bukan sebagai sarana apresiasi dan edukasi masyarakat. Selain itu tantangannya adalah dari regulasi dan biaya yang tidak murah.
Baca Juga: Angkat Sisi Gelap Manusia dan Teror Mencekam, Film Qorin Ajak Penonton Lawan Rasa Takut
“Film saat ini masih dianggap sebagai hiburan. Namun saya berandai-andai, film itu bisa menjadi hak setiap masyarakat, bisa menjadi ruang inklusif dari semua strata jenis, latar belakang yang bisa mendapat ruang yang nyaman dan dapat diakses untuk semua lapisan masyarakat. Namun mungkin film itu unik ya, karena bidang seni yang sangat mahal,” ujar Sammaria, Jumat (16/12).
Menurut pengalaman Sammaria, ketika dirinya membuat film tentang keresahan-keresahan di masyarakat maupun film yang sifatnya edukasi, sering mendapat tantangan dalam regulasi.
“Waktu saya bikin film kedua (Film “Demi Ucok”), ini ceritanya tentang seorang ibu yang pengin anaknya nikah. Saya pikir film dengan cerita seperti itu akan aman-aman saja. Namun saya kena sensor lagi gara-gara posternya ada kaki seorang ibu di kepala orang. Padahal maksud kita surga itu ada di telapak kaki ibu. Namun di luar itu, tantangannya memang film itu sangat mahal terutama film layar lebar,” jelasnya.
Sehingga, lanjutnya, untuk membuat film sebagai medium inklusif yang setara itu memang perjalanan yang cukup panjang. “Namun saat ini ada harapan karena harga produksi semakin murah. Sekarang siapapun yang punya hp bisa menyuarakan apa yang dia inginkan walaupun mungkin untuk bisa masuk ke bioskop atau festival masih sulit,” ungkap Sammaria.