RADARBANDUNG.id- Perselingkuhan atau adanya orang ketiga merupakan salah satu persoalan dalam rumah tangga.
Bagaimana jika terjadi wanita bersuami atau seorang istri yang hamil dan melahirkan anak karena selingkuh? Kepada siapa nasab anak itu, apakah bernasab selingkuhan atau suami resminya?
Dilansir laman NU Online, dalam salah satu kitabnya, Imam an-Nawawi ulama madzhab Syafi’i telah menjelaskannya, jika ada seorang perempuan bersuami, kemudian hamil yang mungkin pula disebabkan oleh laki-laki selain suaminya, maka ketika anak itu lahir dinasabkan kepada suaminya.
وان اشتركا في وطئها في طهر فأتت بولد يمكن أن يكون منهما لحق الزوج لان الولد للفراش
Artinya, “Jika ada dua orang laki-laki (suami sah dan selingkuhan istri) yang bersama-sama menggaulinya (istri tersebut) dalam keadaan suci, kemudian si istri hamil (dan melahirkan) anak yang dimungkinkan anak itu berasal salah satu dari kedua laki-laki tadi, maka anak tersebut dinasabkan kepada suami sahnya, sebab ada hadis, ‘Anak itu milik si empunya ranjang,’ (HR. al-Bukhari-Muslim).”
Pendapat di atas sejalan dengan pendapat al-Qalyubi. Disampaikannya, seorang perempuan yang sudah menikah alias sudah bersuami, kemudian hamil dan melahirkan, maka anaknya itu milik suaminya.
وَإِنْ كَانَتْ مُزَوَّجَةً فَالْوَلَدُ لِلزَّوْجِ
Artinya, “Jika si perempuan bersuami, (kemudian melahirkan anak), maka anak itu milik suaminya,”
Hal itu berlaku untuk istri yang bersuami. Berbeda halnya jika si perempuan lajang atau sudah lama tak bersuami, kemudian hamil oleh seorang laki-laki. Nasab anaknya kepada dirinya sendiri alias kepada ibu.
Nasab anak dari perempuan lajang atau janda
Berbeda jika seorang perempuan tak bersuami hamil, baik perawan maupun janda, kemudian menikah, dan usia pernikahannya sama dengan usia minimal kehamilan, yaitu 6 bulan, maka anak itu bisa dinasabkan pada laki-laki yang menikahinya.
Demikian seperti yang diungkap oleh Syekh Abu Ishaq asy-Syairazi.
إذا تزوج امرأة وهي وهو ممن يولد له ووطئها ولم يشاركه أحد في وطئها بشبهة ولا غيرها وأتت بولد لستة أشهر فصاعدا لحقه نسبه ولا يحل له نفيه
Artinya, “Jika seorang perempuan menikah, sementara dirinya dan laki-laki yang menikahinya termasuk orang yang sudah mampu memberi keturunan, juga tidak ada laki-laki lain yang menyertai laki-laki tersebut dalam mencampuri si perempuan tadi, baik secara syubhat maupun selain syubhat, hingga lahirlah seorang anak dengan usia kehamilan enam bulan atau lebih, maka dinasabkanlah anak itu kepada si laki-laki yang menikahinya tadi, dan tidak boleh si laki-laki menolaknya.”
Baca Juga: 35 Kata-kata Sindiran tentang Perselingkuhan, Kode Keras
Adapun yang menjadi landasan usia minimal kehamilan selama 6 bulan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas, adalah firman Allah dalam Al-Quran, “Kami wasiatkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandung sampai menyapihnya itu selama tiga puluh bulan,” (QS. al-Ahqaf [46]: 15).
Penjelasannya, usia kehamilan dan usia menyapih adalah tiga puluh bulan, sementara usia menyapih adalah 2 tahun, sehingga kehamilan minimal adalah selama 6 bulan.