RADARBANDUNG.id, BANDUNG – Ketua Umum Insan Kalangan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (IKATSI) M Shobirin F Hamid mendorong pemerintah memberikan solusi konkret bagi para penjual pakaian bekas impor (thrifting).
Menurutnya, meski tak membenarkan aktivitas thrifting, namun banyak orang yang bergantung pada jual beli pakaian bekas impor. Bisnis ini bagi Sebagian orang menjadi tulang punggung selama masa Pandemi.
Ia melihat bahwa aktivitas perdagangan barang bekas harus dilihat dari beberapa hal. Pertama, pasar loak atau jual beli barang bekas adalah legal. Aparat tidak boleh menindak atau merampas handphone, laptop atau barang elektronik bekas yang diperjualbelikan. Sama halnya dengan jual beli pakaian bekas di Pasar Loak Gedebage.
“Kedua, ada ribuan masyarakat yang sejak lama terlibat dalam perniagaan ini yang didominasi oleh masyarakan kecil sehingga penanganan kasus ini harus bijak dan tidak mengedepankan sikap represif, intimidatif dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya,” kata Shobirin di Bandung, Minggu (4/6).
Ketiga, aktivitas yang melanggar hukum adalah memasukkan barang bekas tersebut secara ilegal. Hal ini yang perlu ditindak dan diselidiki siapa saja pemainnya.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), impor pakaian bekas di Indonesia mencapai 26,22 ton pada tahun 2022. Di sisi lain, penurunan performa industri tekstil buka hanya dipicu aktivitas thrifting. Salah satu yang perlu ditindak yakni impor barang bekas ilegal, disamping impor barang TPT yang sebetulnya tidak perlu diimpor.
Ia mencontohkan, dengan asumsi ada sekitar 2.000 pedagang pakaian bekas di Gedebage, Kota Bandung. Putaran uang di Gedebage kira-kira Rp120 miliar per bulan dengan asumsi kasar tiap pedagang meraup omzet sebesar Rp2 juta per hari. Nilai tersebut, kata Shobirin, relatif kecil. Sebab putaran uang di Gedebage hanya setara omzet di dua pabrik ukuran menengah atau sedang.
“Contoh ya, satu pabrik dengan kapasitas produksi dua juta meter dengan harga jual Rp.25.000 per meternya maka omzet pabrik tersebut per bulan adalah Rp50 miliar berarti kurang lebih hanya setara dua pabrik saja, dibandingkan dengan omzet pabrik tekstil dan garmen secara keseluruhan mungkin omzet perdagangan baju bekas di gedege tidak mencapai 2%” paparnya.
Ia pun mendukung itikad pemerintah dalam menekan dampak negatif dari thrifting seperti aspek kesehatan dan ekonomi dimana penjualan barang bekas tidak merangsang pertumbuhan ekonomi. Namun, ia tetap meminta pemerintah agar memberi regulasi dan solusi jangka panjang yang jelas terhadap pelaku bisnis barang bekas saat ini.
Solusinya, Pemerintah harus bisa memproteksi market dalam negeri dan memberikan berbagai insentif yang berdampak dalam jangka pendek dan panjang untuk merangsang pertumbuhan perusahaan baru dan meningkatkan efisiensi serta daya saing industri lokal.
Apabila industri dalam negeri hidup dan meningkat maka akan menghasilkan efek berganda seperti naiknya lapangan kerja, penurunan tingkat pengangguran, belanja bahan baku dan bahan pendukung yang bersumber dari industri dalam negeri, kebutuhan listrik, bahan bakar dll akan ikut bergerak naik, yang mana pada akhirnya akan meningkatkan gerak roda ekonomi secara keseluruhan.
Shobirin mengapresiasi kebijakan Kementerian Koperasi & UKM dan Kementrian Perdagangan yang sepakat memberikan kelonggaran bagi para pedagang pakaian bekas impor untuk menjual sisa dagangannya. Namun, kata dia, bisnis pakaian bekas sudah besar dan banyak orang yang bergantung pada bisnis tersebut.
“IKATSI memberikan masukan agar secara legal tetap ditegakkan namun di sisi lain para pedagang baju bekas ini diberdayakan mengingat situasi dan kondisinya sudah semakin membesar. Kementerian terkait dan Pemerintah daerah harus bersama-sama memikirkan hal tersebut dan duduk bersama dengan Para Asosiasi yang ada IKATSI, API dan utusan pedagang bekas tersebut,” tuturnya.
Salah satu solusi yang ditawarkan adalah menjadikan Gedebage sebagai Sentra Perdagangan Tekstil sekaligus Destinasi Wisata Tekstil, baik untuk masyarakat umum atau pelaku usaha konveksi dan lainnya dengan harga yang terjangkau dan kompetitif dengan mengedepankan unsur kekhasan tersendiri sehingga tetap menjadi tujuan utama masyarakat berbelanja tekstil dan produk tekstil, dan aksesoris tekstil lainnya.
Untuk diketahui, IKATSI merupakan Organisasi Profesi yang anggotanya terdiri dari Akedimisi, Peneliti, Praktisi, Professional di Industri Tekstil dan dari lulusan Perguruan Tinggi Tekstil di Indonesia seperti Politeknik Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil Bandung (PolTek STTT – d/h ITT-STTT), Universitas Bandung Raya Bandung, Universitas Pembangunan Nasional ‘Veteran’ Jakarta, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dan sejumlah perguruan tinggi negeri dan swasta lainnya.
Setelah ‘mati suri’ cukup lama, IKATSI telah menyelenggarakan Kongres ke IX pada tanggal 18-19 Maret 2023 lalu di Kota Bandung. Dalam Kongres tersebut M Shobirin F Hamid terpilih sebagai Ketua Umum. (dbs)