RADARBANDUNG.id – Deklarasi dukungan raja se-nusantara di Borobudur terhadap salah satu Capres dinilai kurang pas, jika dilihat dari segi etis dan kelembagaan budaya atau adat. Hal ini rentan dugaan politik identitas, politisasi budaya, dan disrupsi netralitas pada element budaya dimana budaya yang selama ini menjadi garis tengah dan garis keseimbangan bangsa yang diagungkan karena cipta rasa dan karsanya yang sangat tidak elok jika harus di campur adukan ke dalam ranah dan kepentingan politik praktis, terlebih jika dijadikan komoditi politik.
Demikian disampaikan Pemerhati Sosial yang juga seorang bangsawan Surakarta RAy Mayyasari Timur Gondokusumo kepada wartawan, Rabu (14/6/2023). Politisi kritis asal Surakarta Hadiningrat yang merupakan putri tunggal dari pejabat era Orde Baru ini juga menegaskan bahwa keberhasilan Pemilu etis yang bermartabat menentukan keberhasilan demokrasi yang bermartabat di sebuah negara.
“Seyogyanya elemen budaya meliputi cagar budaya maupun pengageng kerajaan atau lembaga adat dapat mengambil posisi wisdom atau bijaksana sebagai tokoh sesepuh bangsa bak dewan penasihat atau dewan kehormatan bagi bangsa ini dalam tahapan kontestasi politik nasional, memberi nasihat mengawal keberlangsungan, menjaga dan menjalin kerukunan serta persatuan bangsa melalui wawasan nusantara dengan merangkul bersama memberi dukungan moril ketiga Capres menciptakan tensi politik yang kondusif menuju Pemilu damai yang bermartabat 2024 mendatang. Bukan memberi dan memperlihatkan dukungan politik terhadap salah satu capres,” jelas Mayyasari.
Mayyasari menilai, cagar budaya dan pengageng kerajaan atau lembaga adat bukanlah LSM yang harus paham dan bijaksana menempatkan posisi dan marwahnya masing-masing di dalam bangsa, agar tidak menimbulkan disrupsi persepsi yang mengurangi nilai dan kehormatan cagar budaya yang independent penuh nilai harmonisasi dan historical.
Setiap Capres harus paham dan menjunjung tinggi etika politik tidak semata mengejar kemenangan atau suara, karena kemenangan dan kepemimpinan yang dilandasi proses dan etik yang baik akan mencapai hasil yang baik pula.
“Saya yakin negarawan bangsa yang mengikuti kontenstasi politik nasional tanggap terhadap budaya tidak ada yang mengabaikan budaya, prosedur legacy penyampaian aspirasi budaya pun sudah tersedia, salah satunya melalui lembaga perwakilan rakyat DPR RI Komisi X yang membawahi kebudayaan. Saya yakin eksistensi dewan perwakilan rakyat masih komit dan berjalan sampai saat ini, yang pasti bukan melalui keberpihakan dalam politik praktis,” tandasnya
Mayyasari berharap, terkhusus kepada cagar budaya Mataram Islam dan para pengageng kerajaan Mataram Islam di Jawa Tengah baik Surakarta dan Daerah Khusus Istimewa Jogjakarja pastinya sudah sangat wisdom dengan proporsional intelektual dan pemahaman etik yang tinggi, sehingga pasti mampu dengan tepat mengambil posisi dalam menjaga netralitas dan marwahnya sebagai pengageng budaya bangsa. (apt)