RADARBANDUNG.id – Anggota Komisi III DPRD Jawa Barat Ahmad Hidayat mengatakan, Pemerintah Provinsi Jawa Barat perlu segera mempersiapkan operasional Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Legok Nangka di Kabupaten Bandung, Lulut-Nambo Bogor, dan Ciwaringin Cirebon Raya mengingat semakin tingginya penumpukan sampah di TPA-TPA yang saat ini menampung sampah-sampah dari sejumlah daerah di Jawa Barat termasuk TPA Sarimukti di Kabupaten Bandung Barat yang menampung sampah dari sejumlah wilayah Bandung Raya.
“Kondisi sekarang TPA Sarimukti akhir tahun ini harus tidak beroperasi lagi. Sejak TPA Leuwi Gajah kemudian pindah ke Sarimukti,
kita belum punya TPPAS regional lagi.
Hari ini yang berprogres Lulut Nambo dan Legok Nangka, itu juga belum beroperasi maksimal, ” kata Ahmad saat kunjungan ke masyarakat di Solokan Jeruk, Kabupaten Bandung, Jumat (16/6/2023).
Ahmad menjelaskan, terkait besaran tipping fee yang akan dibebankan ke pemerintah daerah yang akan membuang sampah ke TPPAS milik Pemprov Jawa Barat sudah tidak ada masalah.
“Kendalanya saat ini adalah harus ada TPA antara, karena idealnya sebelum ke TPPAS regional ada TPA antara. Karena dari TPA pakai kendaraan kecil nanti ke TPPAS besar. Kendalanya di situ sekarang,” ungkapnya.
Meski demikian, Ahmad mengatakan sebenarnya untuk mengentaskan masalah sampah dengan skala regional di Jawa Barat perlu teknologi pengolahan sampah yang canggih dan sudah lazim dipergunakan di seluruh negara maju. Teknologi tersebut adalah incinerator.
“Sebetulnya, pengolahan sampah di seluruh dunia paling benar adalah pakai incinerator. Kalau kita bicara mengubah sampah jadi briket batubara itu hanya 20 persen. Sisanya 80 persen tetap sanitary landfiil. Artinya tidak mengurangi volume sampah, ” ucapnya.
Ahmad mengimbau agar ke depan Pemerintah Provinsi Jawa Barat lebih tegas lagi jika memang akan menerapkan teknologi incinerator untuk mengolah sampah dengan skala besar, kesampingkan dulu penolakan-penolakan yang mengatakan bahwa incinerator memiliki dampak buruk terhadap lingkungan.
“Kendalanya kita mudah termakan isu lingkungan seolah incinerator berbahaya bagi lingkungan. Ternyata enggak ada di dunia ini pengolahan sampah yang benar kecuali pakai incinerator kalau ada yang bisa nemu, saya kasih hadiah,” kata dia.
Sebab, menurut Ahmad, setelah dirinya meninjau penggunaan incinerator di negara-negara maju, teknologi pengolahan sampah tersebut justru tidak merusak lingkungan serta lebih efektif karena akan mengonversi hasil pembakaran sampah menjadi energi listrik, ” akunya.
“Jadi aktivis lingkungan yang bilang incinerator itu membahayakan lingkungan, mencemari lingkungan nonsense, solusinya nggak ada juga kan. Makanya ke depan tegas saja, kadang perlu ketegasan juga daripada terlalu banyak mendengarkan orang yang melakukan penolakan tapi enggak punya solusi yang pasti, ” tuturnya.
Kendati demikian, Ahmad membenarkan jika invetasi yang dibutuhkan untuk membangun incinerator terbilang besar.
“Incinerator ini biaya investasinya mahal, makanya, agar untung ada tipping fee dari daerah. Tapi setelah dikalkulasi secara bisnis, tetap perlu subsidi dari pemerintah pusat, ” tandasnya. (pra)