Oleh : Fajar Setyaning Dwi Putra
Dosen Politeknik STMI Jakarta (Kementerian Perindustrian RI)
SETIAP tanggal 20 Mei, Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional, sebuah momen yang menggugah semangat kebangsaan dan perjuangan rakyat Indonesia untuk meraih kemerdekaan. Di tengah gemuruh peringatan ini, muncul sebuah refleksi yang patut kita renungkan: apakah Indonesia benar-benar menikmati “bonus demografi” yang sering digembar-gemborkan, atau justru sedang di ambang “bencana demografi”?
Bonus Demografi: Peluang atau Ilusi?
Bonus demografi merujuk pada kondisi di mana jumlah penduduk usia produktif lebih besar dibandingkan dengan penduduk usia non-produktif. Fenomena ini seharusnya memberikan keuntungan ekonomi, di mana angkatan kerja yang besar dapat meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Namun, apakah ini yang benar-benar terjadi di Indonesia?
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia akan berada di puncak bonus demografi pada tahun 2045 (Indonesia Emas 2045), dengan sekitar 70 persen penduduk berada dalam kategori usia produktif. Teorinya, hal ini seharusnya membuka peluang emas untuk memajukan perekonomian bangsa. Sayangnya, realita di lapangan menunjukkan gambaran yang berbeda.
Paradoks Tingginya Pengangguran di Tengah Bonus Demografi
Sebuah ironi terjadi di tengah kondisi demografi yang menguntungkan ini. Alih-alih memanen keuntungan dari bonus demografi, Indonesia justru dihadapkan pada masalah serius: tingginya angka pengangguran. Data dari BPS Februari 2024 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 7.2 juta orang pada 2024, dengan jumlah pengangguran terbanyak berasal dari lulusan SMK dan SMA. Dengan jumlah 8.62% (lulusan SMK), 6.73 % (lulusan SMA), dan 5.63% (lulusan perguruan tinggi)
Mengapa hal ini bisa terjadi? Salah satu faktor utamanya adalah ketidakcocokan antara keterampilan yang dimiliki oleh angkatan kerja muda dengan kebutuhan pasar kerja. Sistem pendidikan yang belum sepenuhnya mampu menghasilkan lulusan yang siap kerja menjadi salah satu penyebab utama. Selain itu, sektor informal yang mendominasi pasar kerja Indonesia juga kurang mampu memberikan jaminan pekerjaan yang stabil dan layak.
Di tengah perdebatan mengenai kualitas dan relevansi pendidikan, muncul pernyataan kontroversial dari Plt Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbud Ristek, Tjitjik Sri Tjahjandarie. Beliau menyatakan bahwa pendidikan tinggi merupakan kebutuhan tersier (tertiary education). Pernyataan ini muncul di tengah isu kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang semakin membebani mahasiswa dan orang tua mereka.
Pandangan ini memicu kontroversi karena mengesankan bahwa pendidikan tinggi bukanlah prioritas dan jauh dari inklusivitas seperti yang diamanatkan oleh konstitusi yaitu negara harus hadir dalam “mencerdaskan kehidupan bangsa”, padahal seharusnya menjadi salah satu pilar utama dalam mencetak sumber daya manusia yang kompeten, berdaya saing dan unggul. Jika pendidikan tinggi dianggap sebagai kebutuhan tersier, maka bagaimana mungkin kita berharap bisa memanfaatkan bonus demografi secara optimal?
Pendidikan dan Pelatihan: Kunci yang Terabaikan
Sistem pendidikan Indonesia sering kali dikritik karena terlalu berfokus pada teori dan kurang memberikan keterampilan praktis yang dibutuhkan di dunia kerja. Lulusan universitas sering kali mendapati diri mereka tidak siap menghadapi tuntutan industri yang semakin kompetitif dan dinamis. Program pelatihan dan vokasi yang efektif dan relevan sangat diperlukan untuk menjembatani kesenjangan ini.
Beberapa inisiatif telah dilakukan oleh pemerintah, seperti program Kartu Prakerja yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan dan daya saing angkatan kerja. Namun, efektivitas program-program ini masih perlu dievaluasi lebih lanjut untuk memastikan bahwa mereka benar-benar memberikan dampak yang signifikan.
Tantangan Struktural dan Sosial
Selain isu pendidikan dan pelatihan, ada tantangan struktural dan sosial yang juga menghambat pemanfaatan bonus demografi. Ketimpangan ekonomi dan akses terhadap pekerjaan yang layak masih menjadi masalah besar. Di beberapa daerah, terutama di kawasan terpencil, akses terhadap peluang kerja masih sangat terbatas.
Selain itu, persepsi dan harapan masyarakat terhadap jenis pekerjaan juga memainkan peran penting. Banyak orang tua yang masih menganggap pekerjaan kantoran atau posisi di sektor formal sebagai satu-satunya pilihan yang layak, sementara sektor informal dan pekerjaan yang membutuhkan keterampilan teknis sering kali dipandang sebelah mata.
Kritik tajam perlu diarahkan pada budaya kerja dan etos kerja generasi muda saat ini. Tanpa adanya perubahan mindset dan disiplin, bonus demografi hanya akan menjadi “pepesan kosong” yang tidak memberikan manfaat nyata bagi pembangunan bangsa.
Bencana Demografi: Ancaman Nyata
Jika tidak ditangani dengan baik, bonus demografi bisa berbalik menjadi bencana demografi. Angkatan kerja yang besar namun tidak produktif akan menjadi beban ekonomi. Tingginya angka pengangguran dapat memicu berbagai masalah sosial, seperti meningkatnya kriminalitas, ketidakstabilan sosial, dan meningkatnya angka kemiskinan.
Untuk menghindari skenario bencana demografi, diperlukan langkah-langkah strategis yang komprehensif. Pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat harus bekerja sama dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial.
Solusi: Sinergi dan Inovasi
Pertama, pemerintah perlu terus memperbaiki sistem pendidikan dan pelatihan agar lebih sesuai dengan kebutuhan industri. Kerjasama dengan sektor swasta dalam menyediakan program magang dan pelatihan kerja dapat menjadi solusi efektif.
Kedua, diperlukan kebijakan yang mendukung pengembangan sektor informal dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Sektor ini memiliki potensi besar untuk menyerap tenaga kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal.
Ketiga, perubahan mindset dan budaya kerja perlu diupayakan. Generasi muda harus didorong untuk memiliki etos kerja yang kuat dan inovatif. Program-program kewirausahaan dan pengembangan kreativitas dapat menjadi pendorong utama dalam hal ini.
Refleksi dan Aksi
Hari Kebangkitan Nasional bukan hanya sekadar peringatan sejarah, tetapi juga momen refleksi untuk menilai sejauh mana bangsa ini telah berkembang dan apa yang harus dilakukan ke depan. Bonus demografi menawarkan peluang besar bagi Indonesia, namun tanpa langkah nyata dan strategis, peluang ini bisa berubah menjadi ancaman serius.
Dengan semangat kebangkitan nasional, marilah kita bersama-sama membangun bangsa yang lebih produktif, inovatif, dan sejahtera. Bonus demografi bukanlah sesuatu yang datang dengan sendirinya, tetapi harus diperjuangkan dengan kerja keras, sinergi, dan inovasi.
Refleksi Hari Kebangkitan Nasional tahun ini, mari kita jadikan momentum untuk bangkit dari segala keterpurukan dan menjadikan bonus demografi sebagai titik tolak menuju Indonesia melaju untuk terus maju. (*)