RADARBANDUNG.id- Hotman Paris, Pengacara keluarga mendiang Vina Cirebon, ikut menyoroti beredarnya foto-foto screenshot dan juga video pendek di media sosial yang diduga berkaitan dengan kasus pembunuhan Vina.
Hotman Paris memberikan catatan terkait beredarnya rekaman itu. Dia mengatakan, rekaman kamera CCTV tidak dapat menjadi bukti hukum di pengadilan, apabila tidak dilakukan digital forensik.
“Secara hukum, CCTV hanya sah sebagai bukti hukum kalau dilakukan digital forensik atas harddisk dari DVR-nya. Atau flashdisk kalau pernah dikloning, flashdisk itu harus bisa dilakukan digital forensik,” kata Hotman Paris dalam unggahannya di Instagram.
Dengan dilakukan digital forensik, kata Hotman, akan diketahui sejumlah informasi. Mulai dari kapan video itu direkam, hingga siapa saja sosok yang ada di dalam video yang diduga berkaitan dengan kasus pembunuhan Vina Cirebon.
“Digital forensik ini akan membuktikan siapa yang ada dalam harddisk tersebut dan juga mengenai timing-nya,” kata Hotman.
Dia kembali menegaskan bahwa rekaman CCTV tidak akan dipertimbangkan secara hukum di pengadilan apabila tidak dilakukan digital forensik.
“CCTV tidak sah sebagai barang bukti kalau tidak dilakukan digital forensik. Apa benar dalam video itu 11 orang pelaku penganiayaan terhadap Vina, akan diketahui dengan digital forensik,” paparnya.
Sementara itu, Roy Suryo selaku Pemerhati Telematika, Multimedia, AI dan OCB, ikut angkat bicara soal kabar munculnya rekaman kamera CCTV dalam kasus pembunuhan Vina Cirebon yang tangkapan layarnya mulai beredar di media sosial.
“Screenshot yang masih berupa kolase ini memang belum bisa diuji kebenarannya, apalagi disebut-sebut hanya berasal dari pihak ketiga yang mem-posting di akun TikTok dan IG,” kata Roy Suryo kepada JawaPos.com.
Dia menegaskan, rekaman CCTV tersebut belum dapat diuji kebenarannya. Namun dari screenshot yang beredar, memang memperlihatkan adanya rekaman CCTV dalam kasus meninggalnya Vina Cirebon yang disimpan selama 8 tahun.
“Adegan-adegan yang ditampilkan cukup signifikan, mulai dari geng motor yang berkerumun, ada yang membawa balok kayu ukuran besar, sampai kepada terekamnya sosok wanita lain (selain Vina) dalam CCTV tersebut,” tutur Roy Suryo.
Lebih lanjut dia mengatakan, kualitas rekaman kamera CCTV yang beredar sudah cukup jelas, layak untuk dianalisis yang akan mempermudah untuk melakukan penelaahan secara ilmiah.
“Teknologi tahun 2016 meski belum berkualitas HD / 4K seperti kamera-kamera sekarang,sudah tidak low-res,” bebernya.
Dia juga menyatakan, rekaman kamera CCTV yang dapat digunakan sebagai alat bukti sesuai dengan Pasal 5 dan 6 UU ITE bukan hanya berupa screenshot saja. Tapi harus berupa rekaman video utuh yang bisa diputar untuk kemudian dianalisis kualitas video dan metadata asli dari rekaman CCTV tersebut.
Tidak hanya itu, rekaman video kamera CCTV juga harus jelas asal usulnya diambil dari Digital Video Recorder (DVR).
“Secara teknis rekaman CCTV dalam DVR / Digital Video Recorder biasanya memang bertahan 1-2 bulan, kalau harddisk-nya berkapasitas 500GB sampai dengan 1TB saat itu. Kalau sekarang mungkin saja harddisk DVR di CCTV bisa sampai berkapasitas 2TB – 4TB, tetapi itu juga tidak akan bisa menyimpan sampai 8 tahun (2016 sampai 2024),” tegasnya
Roy Suryo menekankan, jangan sampai kehadiran rekaman kamera CCTV ini mengulang kembali kasus Kopi Sianida Jessica Wongso dimana CCTV diragukan karena penanganan terhadap rekaman kamera CCTV dinilai tidak sesuai prosedur.