RADARBANDUNG.id, BANDUNG- Tingkat keterpilihan perempuan dalam kontestasi politik kepala daerah mengalami peningkatan. Meluasnya kesempatan ini menjadi angin segar bagi iklim demokrasi di Indonesia.
Hal ini dikemukakan oleh anggota DPR RI, Netty Prasetyani dalam seminar bertajuk “Peran Perempuan dalam Proses Pemilihan Kepala Daerah di Jabar Tahun 2024” yang diselenggarakan Pitaloka di Sekretariat PP Pitaloka Jalan Braga Kota Bandung.
Menurut dia, sudah banyak perempuan membuktikan kapasitasnya saat memimpin daerah. Mereka pun bisa membagi tugasnya di lingkup keluargan
Ia mencontohkan, saat pemilihan gubernur tahun 2018 terdapat 49 calon bupati/wali kota perempuan dan 50 calon wakil bupati/wali kota perempuan.
Di tingkat Pemilihan Gubernur (Pilgub) terdapat dua calon gubernur perempuan, yakni Khofifah Indar Parawansa di Jawa Timur dan Karolin Margret Natasa di Kalimantan Barat.
Dari sisi peluang keterpilihan untuk calon perempuan mengalami peningkatan dalam empat pilkada terakhir. Pada 2015 sebanyak 8,36 persen, lalu 2017 di angka 7,43 persen, 2018 di angka 8,77 persen, kemudian tahun 2020 berada di angka 11,02 persen.
Kepala daerah perempuan juga dapat membuktikan diri sejajar dalam hal memimpin daerah dengan beragam prestasi yang diraih. Ia menyebut sejumlah nama, misalnya Tri Risma sukses sebagai Walikota Surabaya, Walikota Singkawang, Tjhai Tjui Mie, dan Bupati Luwu Utara, Indah Putri Damayanti.
“Melihat hal ini, perempuan telah mampu membuktikan diri memiliki kapasitas yang tidak kalah dari laki-laki dalam memimpin daerah. Makanya, seiring perjalanan waktu, dukungan terhadap Perempuan sebagai pemimpin daerah diharapkan dapat terus meningkat,” kata dia.
“Para oeremuan yang menjadi kepalandaerah juga bisa menjalankan perannya dalam keluarga,” jelas Netty.
Meski begitu, ia mengakui bahwa ada sejumlah kendala yang biasanya ditemui oleh calon pemimpin saat maju pilkada. Mereka tetap harus meyakinkan dukungan dari partai politik, dinamika dengan organisasi kemasyarakatan serta tokoh agama.
Hanya saja, kendala ini mengalami penurunan. Banyak partai politik sudah mulai memberikan ruang bagi calon pemimpin perempuan.
“Berdasarkan data, partai Islam menunjukkan dukungan paling banyak kepada calon perempuan di Pilkada. PKB dalam empat Pilkada terakhir mencalonkan 20,71 persen Perempuan, diikuti oleh PPP dengan 19,94 persen dan PAN dengan 19,84 persen,” imbuhnya.
Di tempat yang sama, Dosen Fisip Unpad, Antik Bintari menyoroti urgensi peningkatan jumlah pemimpin Perempuan.
Berdasarkan data yang dihimpun, pada Pilkada 2018 hanya ada 7 perempuan dari total 110 kandidat yang tampil sebagai pasangan calon gubernur dan wakil gubernur di 17 Provinsi. Tiga diantaranya yang menang dalam pilkada tersebut.
Peneliti pada Pusat Riset Gender dan Anak Unpad itu menilai calon kepala daerah perempuan memerlukan dukungan berbagai kebijakan yang berpihak di samping perubahan cara pandang dan cara berpikir yang ada di masyarakat.
“Masih terdapat anggapan bahwa perempuan tidak boleh atau tidak layak menjadi pemimpin selama masih ada laki-laki,” ujarnya.
Perempuan yang terjun di dunia politik harus bekerja lebih keras mendapatkan konstituen. Faktor ini dipengaruhi oleh basis dukungan, proses rekrutmen kader, ikatan dengan akar rumput dan strategi kampanye.
Ketua Umum Pitaloka, Euis Purnama mengatakan berdasarkan laporan dari Global Gender Gap, dimensi pemberdayaan politik perempuan masih sangat rendah dibanding dengan dimensi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi dengan nilainya sudah 0,9 menyentuh angka 1 yang artinya sudah setara gender.
“Dalam politik, nilai indexnya masih 0,182 masih jauh dari kata setara. Oleh sebab itu, perlu upaya Bersama untuk meningkatkan pemberdayaan perempuan dalam dunia politik,” jelas dia. (dbs)