RADARBANDUNG.id- Anggota Komisi X DPR RI, Habib Syarief Muhammad menyoroti maraknya kasus perundungan di lingkungan Pendidikan. Tak jarang kasus yang terjadi menimbulkan korban jiwa atau membuat trauma berkepanjangan.
Menurutnya, perundungan yang menimbulkan korban jiwa merupakan masalah serius yang harus segera diselesaikan. Apalagi, berdasarkan data Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 20218 lalu, Indonesia menjadi negara peringkat 5 di dunia dengan kasus perundungan terbanyak.
Di wilayah Asia Tenggara, Indonesia menduduki peringkat ketiga dengan kasus perundungan terbanyak setalah Filipina dan Brunei.
Peristiwa terbaru yang menyita perhatian publik terjadi di Surabaya. Seorang siswa diduga diminta untuk sujud dan menggonggong layaknya anjing oleh seorang pria dewasa. Peristiwa itu terjadi di lingkungan sekolah.
Dari sisi regulasi, kata Syarief, Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan sudah cukup efektif. Namun, ia menyadari penanganan perundungan di sekolah tidak dapat diseleasikan di internal saja. Sebab, dari data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) 2019, kasus perundungan masih cenderung tinggi.
Kasus perundungan di tingkat SD 39 persen, 22 persen terjadi di tingkat 22 persen, dan 39 persen terjadi di tingkat SMA.
Merujuk pada data tersebut, kasus perundungan yang paling tinggi dari guru/kepala sekolah ke peserta didik sebanyak 44 persen. Kemudian, dari peserta didik ke peserta didik lain 30 persen, peserta didik ke guru 13 persen, dan orang tua siswa ke guru/peserta didik 13 persen.
“Saya khawatir data ini masih relevan atau mendekati. Jadi dibutuhkan pihak yang independen untuk penanganan perundungan di sekolah. Karena guru bahkan kepala sekolah dapat menjadi pelakunya, bahkan tertinggi. Peserta didik harus punya tempat mengadu selain kepada pihak sekolah,” ucapnya.
Syarief mengatakan, perlindungan terhadap pelapor perundungan sudah diatur dalam Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 dan Kementerian PPPA memiliki SAPA 129.
Namun, poin pentingnya bukan hanya mengenai medium untuk melaporkan kasus perundungan, melainkan memberikan rasa aman bagi para pelapor. Menurutnya, pelapor kasus perundungan harus dianonimkan agar mereka tidak menjadi korban perundungan selanjutnya.
“Jadi harus ada kepastian bagi pelapor dari korban maupun saksi tidak diketahui (anonim). Jadi mereka memiliki rasa aman dan tenang. Kita harus bisa memastikan mekanisme pelaporan ini seperti negara lainnya,” kata Syarief.
Ia menambahkan, penanganan kasus perundungan seharusnya tidak hanya fokus pada korban tetapi juga memperhatikan saksi. Di negara lain, penanganan kasus perundungan dilakukan secara holistik, tidak hanya fokus pada pelaku dan korban tapi juga saksi agar bertindak. Sebab, banyak saksi yang hanya menonton, melihat, hingga memvideokan tanpa bertindak. Oleh karena itu, dibutuhkan program yang mendorong orang untuk terlibat aktif menolong agar tidak hanya menonton ketika ada aksi perundungan.
“Mereka harus berani untuk bersikap, teriak, minta tolong atau langsung membantu. Bukan menjadi ajang tontonan, mereka diam tidak membantu. Ini yang menyebabkan perundungan sulit ditekan,” pungkasnya. (dbs)