RADARBANDUNG.ID, KOTA BANDUNG – Momen reflektif bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan sekadar peringatan simbolik, Hari Konsumen Nasional (Harkonas) yang diperingati setiap tahun sejatinya adalah pengingat keras, perlindungan terhadap konsumen belum menjadi prioritas negara.
Ketua Umum Himpunan Lembaga Konsumen Indonesia (HLKI) untuk wilayah Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta, Firman Turmantara mengangkat kembali isu ini dengan sorotan tajam terhadap kondisi yang dihadapi masyarakat.
Firman Turmantara menjelaskan Harkonas yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2012, bukan hanya sekadar seremoni. Harkonas hadir untuk menghormati tonggak sejarah hukum perlindungan konsumen, yakni disahkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Namun, dua dekade lebih sejak lahirnya regulasi tersebut, berbagai pelanggaran terhadap hak-hak konsumen masih berlangsung secara terang-terangan.
Firman mengingatkan status sebagai konsumen tidak dibatasi oleh usia, profesi, atau status sosial.
“Dari bayi yang baru lahir hingga lansia, bahkan pelaku usaha, semua adalah konsumen,” ujarnya, Minggu (20/4/2025).
Firman mengacu pada definisi dalam Pasal 1 UUPK yang menyatakan konsumen adalah setiap orang yang memanfaatkan barang atau jasa untuk kebutuhan pribadi dan bukan untuk diperjualbelikan.
Menurutnya dalam konteks ini, barang dan jasa yang dikonsumsi mencakup berbagai aspek kehidupan. Mulai dari kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, dan papan, hingga pendidikan, kesehatan, bahkan transportasi. Semua lini kehidupan menyentuh aktivitas konsumsi, sehingga posisi konsumen seharusnya menjadi prioritas dalam kebijakan publik.
Namun kenyataannya, posisi strategis konsumen dalam sistem kenegaraan belum mendapat perlindungan maksimal. Firman menegaskan rakyat tidak hanya membayar produk dan jasa, tetapi juga menyokong negara melalui pajak.
“Artinya, mereka membayar dua kali untuk barang yang dikonsumsi, dan untuk keberlangsungan negara. Ironisnya, hak mereka sebagai konsumen justru kerap diabaikan,” ungkapnya.
Menurutnya salah satu bentuk nyata ketimpangan ini tampak saat negara mengeluarkan kebijakan yang justru membebani masyarakat. Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, misalnya, langsung berdampak pada daya beli rakyat. Konsumen, sekali lagi, menjadi korban dari kebijakan yang tampaknya lebih berpihak pada aspek fiskal ketimbang kesejahteraan publik.
Tidak berhenti di situ, Firman mengkritisi berbagai persoalan yang membelit kebutuhan pokok rakyat. Kelangkaan gas subsidi, dugaan pertamax oplosan, beredarnya pupuk dan oli palsu, hingga skandal korupsi di tubuh perusahaan negara seperti PLN, menunjukkan lemahnya pengawasan dan perlindungan terhadap konsumen.
“Harga beras tidak terkendali, dan rakyat harus menanggung akibat dari sistem yang tak berpihak,” tegasnya.
Firman menambahkan kondisi ini makin diperparah oleh situasi ekonomi makro yang tidak menentu. Nilai tukar rupiah melemah, IHSG terpuruk, dan masyarakat dihadapkan pada badai pemutusan hubungan kerja (PHK) serta efisiensi anggaran yang menyulitkan kehidupan sehari-hari.
“Konsumen Indonesia hari ini berada dalam kondisi darurat. Ini bukan sekadar keluhan, ini peringatan keras,” ujarnya.
Firman menyoroti buruknya komunikasi pemerintah terhadap suara publik. Respons pejabat yang terkesan arogan dan jauh dari empati memperparah jarak antara negara dan rakyatnya. Dalam perspektif hukum, negara yang menyediakan barang dan jasa sejatinya termasuk pelaku usaha, sementara rakyat adalah konsumennya.
“Secara struktural, relasi ini tidak setara. Maka negara harus mengambil tanggung jawab yang lebih besar,” jelas Firman.
Firman pun menjelaskan dalam UUPK, lanjutnya, jelas tertulis kewajiban dan larangan bagi pelaku usaha. Misalnya, Pasal 8 ayat (1) huruf a melarang peredaran barang dan jasa yang tidak sesuai standar atau merugikan konsumen. Sayangnya, pelanggaran terhadap aturan ini justru sering terlihat kasat mata, tanpa tindakan tegas dari pihak berwenang.
Firman menekankan jika negara sungguh ingin mewujudkan prinsip negara kesejahteraan (welfare state), maka perlindungan terhadap konsumen harus menjadi pilar utama. Rakyat bukan beban, melainkan entitas yang membiayai keberlangsungan negara. Oleh karena itu, negara wajib melayani, bukan mempersulit atau bahkan mengorbankan mereka dalam kebijakan yang tidak berpihak.
Firman menyerukan agar peringatan Harkonas tahun 2025 menjadi momentum evaluasi serius. Firman bahkan menyarankan Presiden Prabowo untuk segera melakukan reshuffle kabinet, mengganti menteri yang tidak berpihak pada rakyat.
“Ini bukan sekadar soal politik. Ini soal keberlangsungan hidup masyarakat. Negara harus hadir di tengah rakyat, bukan sekadar dalam wacana,” pungkasnya.(dsn)