RADARBANDUNG.ID, KOTA BANDUNG – Kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengirim para siswa tertentu ke barak militer terus menuai sorotan. Termasuk terhadap wacana mengirim siswa yang terindikasi LGBT.

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi berinteraksi langsung dengan siswa nakal di barak militer. Foto : YouTube/Kang Dedi Mulyadi Channel. Sementara foto atas, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi memberikan keterangan pers kepada awak media di Kantor Kementerian HAM, Jakarta Selatan, Kamis (8/5/2025). Foto : Dery Ridwansah/ JawaPos.com.
Sorotan terhadap kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi untuk memberikan pembinaan terhadap siswa yang terindikasi LGBT itu disampaikan oleh Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi.
”Kita tidak sedang memperdebatkan baik buruknya disiplin, apalagi menolak pelibatan militer dalam dunia pendidikan. Yang jadi soal adalah pendekatannya. Ketika siswa bermasalah, termasuk yang diindikasikan LGBT, langsung dikirim ke barak, itu bukan pendisiplinan yang membina,” ungkap Khairul Fahmi saat diwawancarai JawaPos.com pada Sabtu (10/5/2025) seputar salah satu kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi.
Pria yang aktif sebagai salah seorang pemerhati isu-isu militer itu menyatakan, prinsip pendidikan nasional Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah demokratis, inklusif, dan non-diskriminatif.
”Pendidikan tidak boleh berbasis ’paksaan’. Kita bisa melibatkan pendekatan militeristik dalam pendidikan, tapi hanya dengan prinsip kesukarelaan,” imbuhnya.
Menurut Fahmi, ada banyak model pendidikan.
Contohnya yang diterapkan di SMA Taruna Nusantara.
Di sana sudah terbukti berhasil mengintegrasikan nilai-nilai kedisiplinan dan kepemimpinan ala militer.
Tapi, siswa yang masuk ke sana sadar betul dengan sistem yang akan mereka jalani, bukan karena dipaksa atau dianggap ’bermasalah’.
”Gagasan mengirim anak bermasalah, apalagi hanya berdasarkan indikasi disorientasi seksual ke barak militer adalah bentuk sekuritisasi kebijakan sosial yang keliru. Ketika semua persoalan sosial dibaca sebagai potensi gangguan terhadap ketertiban umum, maka pendekatan yang muncul bukan edukasi,” jelasnya.
Menurut Fahmi, hal itu bisa menjadi bahaya.
Sebab, bukan hanya berpotensi mencederai hak anak, tetapi juga mengikis kepercayaan pada institusi pendidikan.
Padahal dia menilai, sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman untuk belajar, bertumbuh, dan membentuk karakter.
”Anak bermasalah bukan untuk dikucilkan atau disingkirkan, melainkan untuk didampingi, difasilitasi, dan diarahkan. Solusinya bukan memindahkan mereka ke luar sistem, melainkan memperkuat kapasitas sekolah agar mampu menjadi ruang yang memulihkan,” terang dia.
Fahmi mengakui, pelibatan militer sah-sah saja dan dapat didukung.
Hanya, kata dia hal itu akan lebih baik bila sifatnya edukatif, proporsional, dan suportif.
Misalnya dalam pelatihan karakter, motivasi, atau program patriotisme yang berkelanjutan dan terintegrasi dalam kurikulum.
”Lagipula, di institusi militer seperti TNI sendiri isu LGBT masih menjadi tantangan internal yang cukup kompleks. Meski ada aturan yang tegas melarang dan pembinaan terus dilakukan, penyelesaiannya tidak sederhana. Maka tidak tepat jika dunia pendidikan kemudian justru mengambil jalan pintas,” jelasnya.
Alih-alih menyelesaikan masalah secara berkelanjutan, masih kata Fahmi, pendekatan instan seperti program yang dijalankan Dedi Mulyadi di Jabar dinilai hanya akan memperdalam stigma, menormalisasi diskriminasi, dan menjauhkan sistem pendidikan dari fungsinya sebagai ruang pembentukan manusia seutuhnya.
Yakni manusia yang merdeka, bermartabat, dan berkepribadian.
”Ini memang tidak akan pernah mudah. Para pemangku (kebijakan) boleh lelah menghadirkan solusi, tapi tidak boleh menyerah,” tegasnya. (jpc)