RADARBANDUNG.ID, KOTA BANDUNG – Kajian keluarga yang digelar di Kota Bandung, Sinyo Hendrik menyampaikan pola relasi suami istri masa kini yang kerap diwarnai saling merendahkan. Menurutnya, fenomena yang terjadi bukan semata karena konflik pribadi atau persoalan ekonomi, melainkan akibat lemahnya pondasi keagamaan dalam rumah tangga.
“Banyak pasangan menikah tanpa pemahaman yang cukup tentang peran dan tanggung jawab masing-masing. Akhirnya, mereka hanya mengandalkan emosi dan ekspektasi. Ketika kenyataan tak sesuai harapan, yang muncul adalah sikap saling merendahkan,” ujarnya dalam kajian keluarga yang dihadiri puluhan pasangan dari berbagai kalangan, Minggu (11/5/2025).
Sinyo menjelaskan makna pernikahan seringkali dipersempit hanya sebagai peristiwa administratif atau ritual seremoni. Padahal, dalam perspektif agama, pernikahan merupakan ikatan permanen yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan manusia secara menyeluruh, biologis, psikologis, sosial, dan religius.
Kebutuhan biologis seperti sandang, pangan, dan papan hanyalah fondasi paling dasar. Yang lebih penting, menurut Sinyo, adalah aspek psikologis, bagaimana pasangan memperlakukan satu sama lain dengan rasa hormat dan empati. Tak kalah penting, dimensi sosiologis juga harus diperhatikan, di mana pasangan diajak membangun kehidupan sosial yang sehat. Di atas semua itu, aspek religius menjadi pilar utama yang harus dipahami tidak hanya secara lisan, tetapi juga dalam tindakan nyata sehari-hari.
“Kita sering mengaku beragama, tapi dalam praktik rumah tangga, banyak yang justru bertolak belakang dengan nilai-nilai agama. Inilah yang membuat rumah tangga goyah saat diuji,” ungkap Sinyo.
Ia mengajak para peserta untuk bercermin pada sosok-sosok ideal dalam pernikahan. Jika ingin meneladani pernikahan Rasulullah SAW, seseorang harus terlebih dahulu memahami karakter dan kepribadian pasangannya dengan lapang dada.
“Jangan hanya mengidolakan pasangan sempurna. Kita harus menerima pasangan kita adalah manusia biasa, lengkap dengan kekurangan dan keunikannya,” jelasnya.
Sesi yang berlangsung hampir dua jam tersebut, Sinyo juga menekankan pentingnya peran suami yang lebih dari sekadar pencari nafkah. Sinyo menyebut suami memiliki kewajiban untuk membimbing, melindungi, mendidik, dan menjaga keluarganya, tidak hanya secara fisik tetapi juga emosional dan spiritual.
Ia pun menyoroti banyak konflik rumah tangga bermula dari kesalahpahaman peran dan ketidaksiapan mental dalam menjalani kehidupan pernikahan. Ironisnya, ilmu tentang pernikahan justru baru dicari setelah seseorang menikah.
“Seharusnya, sebelum menikah, kita menempuh proses tholabul ilmi, mencari ilmu. Bukan hanya belajar soal akad, tetapi juga belajar memahami dinamika kehidupan rumah tangga,” tegasnya.
Sinyo menampik pandangan perceraian selalu terjadi karena kesulitan ekonomi. Ia menilai, ujian hidup adalah keniscayaan bagi setiap insan, termasuk dalam rumah tangga. Namun, cara menyikapi ujian itulah yang menentukan arah hubungan.
“Saat ujian datang, banyak yang tidak menghadapinya dengan ketenangan. Nafsu dan amarah lebih sering dikedepankan ketimbang kesabaran dan pemahaman,” tambahnya.
Lebih lanjut, Sinyo menutup dengan ajakan reflektif bagi seluruh, menjadikan ilmu agama sebagai bekal utama dalam membina rumah tangga. Sebab, dengan ilmu, pasangan akan lebih bijak, lebih lapang, dan lebih kuat dalam menghadapi berbagai dinamika kehidupan pernikahan.
Kajian keluarga seperti ini menjadi pengingat penting pernikahan bukan hanya tentang cinta dan pesta resepsi.
“Pernikahan adalah medan ibadah, tempat bertumbuhnya nilai, dan ladang belajar tiada henti, yang hanya bisa dijaga dengan ilmu, iman, dan rasa saling menghargai,” pungkas Sinyo.(dsn)