RADARBANDUNG.ID, KOTA BANDUNG – Pemerintah Provinsi Jawa Barat menjadikan vasektomi atau Metode Operasi Pria (MOP) sebagai syarat penerima bantuan sosial dan beasiswa menuai respons dari Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan. Menurutnya, wacana ini tidak sekadar kebijakan kontroversial, tetapi sebuah pendekatan strategis yang membuka jalan menuju kesetaraan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan dalam pengendalian pertumbuhan penduduk.
Alih-alih melihatnya sebagai langkah populis, Farhan menyebut wacana ini sebagai bentuk keberanian pemerintah dalam mengangkat isu lama dengan cara baru. Ia menyoroti sejak puluhan tahun silam, konsep keterikatan antara program keluarga berencana (KB) dan pemberian subsidi sudah dikenal masyarakat Indonesia. Namun, selama ini, yang kerap dijadikan sasaran utama kebijakan justru kaum perempuan.
“Vasektomi bukan gagasan baru, tapi penyebutan eksplisitnya sebagai prasyarat bansos adalah pendekatan baru yang provokatif dan edukatif. Ini pemicu diskusi publik yang selama ini cenderung tabu,” ujarnya, Selasa (13/5/2025).
Farhan mengakui selama lebih dari empat dekade, beban program kontrasepsi mayoritas ditanggung kaum ibu. Dari penggunaan pil KB hingga prosedur invasif seperti tubektomi, peran perempuan dalam pengendalian kelahiran begitu dominan. Padahal, menurutnya, tanggung jawab menjaga kualitas keluarga semestinya dibagi adil antara suami dan istri.
“Kita tidak bisa terus membiarkan perempuan memikul semua risiko. Saatnya laki-laki ikut ambil bagian, bukan hanya dari sisi finansial, tapi juga dari sisi biologis dan psikologis. Ini soal keadilan dan kesehatan keluarga,” tegas Farhan.
Meski mendukung penuh gagasan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, Farhan mengingatkan pentingnya pendekatan yang sensitif dan informatif dalam implementasi kebijakan ini. Ia menyebut, masih banyak masyarakat yang belum memahami secara utuh apa itu vasektomi, bagaimana prosedurnya, dan apakah prosedur tersebut bersifat permanen.
Farhan juga menekankan miskonsepsi publik harus diurai melalui kampanye edukatif yang masif. Ia sendiri, sebagai pemimpin kota, mengaku sedang mendalami sisi medis dari prosedur vasektomi agar bisa memberikan contoh yang kredibel.
“Banyak yang mengira vasektomi itu selamanya. Padahal, secara medis, masih ada kemungkinan untuk dibalikkan. Ini berbeda dengan tubektomi yang final. Jadi, penting bagi pemerintah untuk membuka ruang edukasi seluas-luasnya sebelum aturan ini benar-benar dijalankan,” tambahnya.
Sisi teknis, Pemerintah Kota Bandung telah menyiapkan dukungan konkret dengan mengintegrasikan layanan informasi dan tindakan medis melalui skema pelayanan satu pintu. Menurut Farhan, langkah ini akan mempermudah warga dalam mengakses layanan kontrasepsi, termasuk vasektomi, tanpa harus berhadapan dengan birokrasi berlapis.
“Kami ingin layanan ini terjangkau, informatif, dan tidak menyulitkan. Kolaborasi dengan Pemprov menjadi kunci. Jika ini berhasil, maka Kota Bandung bisa menjadi model bagi daerah lain,” ungkapnya.
Lebih dari sekadar soal kuantitas penduduk, Farhan menekankan pengendalian kelahiran juga berorientasi pada peningkatan kualitas hidup warga. Ia percaya, keluarga yang terencana menjadi fondasi utama terciptanya generasi sehat, produktif, dan mandiri.
“Kebijakan ini bukan soal menekan angka kelahiran saja. Ini soal bagaimana kita menyelamatkan masa depan dengan menciptakan keluarga yang siap secara ekonomi, emosional, dan sosial. Dengan demikian, pemerintah bisa lebih fokus meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat,” pungkas Farhan.(dsn)