RADARBANDUNG.ID. SOREANG – Maraknya aksi premanisme dan kekerasan jalanan di Kabupaten Bandung dalam beberapa waktu terakhir mengindikasikan masalah yang lebih mendasar dianggap imbas lemahnya pembelajaran karakter, baik di lingkungan sekolah maupun dalam kehidupan sosial masyarakat.
Dalam Operasi Penyakit Masyarakat (Pekat) Lodaya II 2025, yang berlangsung pada 1–10 Mei 2025. Polresta Bandung berhasil mengamankan 52 preman, termasuk lima orang target operasi. Total, sepanjang Januari hingga Mei 2025, ada 153 pelaku yang diamankan.
Kapolresta Bandung, Kombes Pol Aldi Subartono menyebutkan, modus kejahatan yang digunakan para pelaku mencakup pemerasan, pengancaman, dan pencurian.
“Barang bukti yang berhasil disita meliputi kendaraan bermotor, senjata tajam, airsoft gun, dan alat-alat pencurian. Meskipun langkah ini penting, namun solusi jangka panjang tidak cukup hanya dengan penindakan,” ungkap dia, Senin (12/5).
Dalam operasi tersebut, polisi juga menyita barang bukti penting: 34 motor, dua mobil, empat kunci astag (alat pencuri motor), 16 senjata tajam, satu airsoft gun, dua handphone, dan 45 barang bukti lainnya.
Meski bersikap tegas, polisi juga mengedepankan langkah humanis. Para pelaku yang tidak terbukti melakukan tindak pidana dikenakan pendataan, diambil sidik jarinya, dan diberikan pembinaan.
“Kami ingin masyarakat, khususnya pelaku UMKM, pekerja pabrik, dan pelaku usaha lainnya merasa aman saat beraktivitas, terutama saat malam hari atau pulang kerja,” imbuh Aldi.
Pengamat kebijakan pendidikan sekaligus Guru Besar UPI, Prof. Cecep Darmawan, menilai bahwa kekerasan premanisme berakar dari kegagalan pendidikan karakter di sekolah.
“Saya rasa ini salah satu imbas kegagalan pendidikan karakter di sekolah,” ujarnya, Senin (12/5).
Ia menambahkan, pelajaran Pancasila sebagai pendidikan karakter belum menyasar aspek karakter secara nyata.
“Sebenarnya tidak semua harus dibebankan pada sekolah. Pendidikan karakter harus dibangun bersama, termasuk dari rumah dan lingkungan sosial,” jelasnya.
Selain itu, pasca diberi hukuman, pihaknya menilai pemerintah membentuk lembaga atau merumuskan kebijakan rehabilitasi pasca-hukuman untuk pelaku kekerasan, premanisme.
“Contohnya dengan membangun sekolah didik berbasis agama bagi mereka yang terindikasi pernah melakukan kekerasan, agar mendapat pembinaan lanjutan. Selain itu pemberian skill pekerjaan serta lapangan pekerjaan, karena kerap ekonomi menjadi bagian mendukung kurang baiknya pendidikan karakte,” jelas dia. (kus)