RADARBANDUNG.ID, SOREANG- Meski acapkali dipandang merugikan negara sebagai bisnis mikro, Trifting masih menjadi andalan anak muda untuk berbisnis.
Sempat dilarang melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021, yang diperbarui dengan Nomor 40 Tahun 2022. Namun pelaku bisnis trifting masih menjamur khususnya di Kabupaten Bandung.
Dengan modal yang tidak merogoh kocek besar serta sikap nekat akan berniaga, bisnis ini dipilih banyak orang, untuk mencari tambahan ekonomi.
“Saya berbisnis trifting, baru empat bulan terakhir. Mengambil kelas pakaian murah namun memiliki kualitas brand, sebagai daya tariknya. Selama ini, saya rasa berjualan baju bekas masih menguntungkan,” ungkap Wisnu Bayu (35), Senin (12/5).
Pria yang baru setahun dipecat dari pekerjaanya sebagai buruh pabrik minuman ringan tersebut, memilih bisnis trifting sebagai upaya mengelola hobi mengoleksi baju musisi klasik. Namun bisa mendapatkan cuan lebih dari hobinya tersebut.
“Mulanya saya tertarik karena saya kolektor baju band atau penyanyi luar negeri yang klasik keluaran tahun 1980-1999. Namun, kalau di kalangan kolektor baju tersebut, nampaknya sulit untuk jadi bisnis yang menjanjikan,” ungkap dia.
Sehingga, pilihan bisnis trifting yang dia pilih justru menyasar pasar yang lebih umum. Dimulai baju, celana, hingga jaket yang memiliki brand ternama namun harganya murah.
“Saya rasa, saya mengambil pasar bisnis yang lebih ringan, dengan harga 50 ribu sampai 300 ribu pelanggan sudah bisa memakai baju branded kualitas bagus, namun murah,” ungkapnya.
Pilihannya bukan tanpa alasan, pihaknya menilai pasar anak muda SMA hingga Kuliahan masih menjadi pasar yang bagus untuk berbisnis ini.
“Saya punya jongko di Jalan Cipatik – Soreang Kabupaten Bandung, dari data yang saya punya 88 persen pelanggan anak sekolahan yang ingin bergaya necis namun murah meriah,” ungkap dia.
Lebih lanjut, keuntungan bisnisnya selama empat bulan terakhir sudah menghasilkan gaji sama saat dirinya bekerja di pabrik, senilai 3 juta per bulan. Ditengah modal bisnis sekitaran 10 juta rupiah.
“Mungkin karena selain jualan offline dan online berbarengan untungnya menjanjikan, asal kita bisa melihat nilai barang yang bagus dan murah,” ungkapnya.
Sementara itu, Dosen Ekonomi Pembangunan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Sebelas Maret (UNS), Sarjiyanto, menyebut keberadaan pakaian bekas impor justru menimbulkan benturan dengan sistem perdagangan nasional dan berpotensi merugikan pelaku industri tekstil dalam negeri.
“Thrifting sebenarnya sudah menjadi bagian dari subkultur masyarakat urban, termasuk di Indonesia. Namun, ketika praktik ini melibatkan barang bekas dari luar negeri, maka dampaknya bisa bertolak belakang terhadap perekonomian nasional,” ujarnya.
Selain aspek ekonomi, Sarjiyanto juga menyoroti bahaya dari sisi sosial dan kesehatan. Pakaian bekas impor umumnya tidak melalui proses sterilisasi yang memadai sehingga rentan mengandung jamur atau bakteri yang dapat membahayakan kesehatan konsumen.
“Risiko lainnya adalah lemahnya pengawasan terhadap arus barang di pelabuhan. Banyak pakaian bekas impor yang masuk tanpa melalui prosedur bea cukai resmi, sehingga tidak terdeteksi oleh otoritas,” tambahnya. (kus)