RADARBANDUNG.ID, SOREANG – Rencana penggunaan 25 unit insinerator untuk mengatasi persoalan sampah di Kabupaten Bandung mendapat penolakan dari kalangan aktivis lingkungan.
Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung, timbulan sampah di wilayah tersebut mencapai 478.956,72 ton pada tahun 2024.
Jika tidak dikelola secara menyeluruh dan berkelanjutan, jumlah tersebut diperkirakan terus meningkat setiap tahunnya.
Sebagai solusi cepat, Pemerintah Provinsi Jawa Barat merencanakan penggunaan insinerator atau alat pembakar sampah bersuhu tinggi. Dari total 84 unit yang disiapkan untuk wilayah Bandung Raya, sebanyak 25 unit akan dialokasikan untuk Kabupaten Bandung.
Namun, Tim Advokasi Persampahan Walhi Jabar, Jefry Rohman, menilai penggunaan insinerator hanya memberikan solusi sesaat.
“Banyak fasilitas pengolahan seperti TPS3R yang dibangun melalui proyek Citarum Harum, justru mangkrak karena minimnya pembiayaan dan pembinaan dari pemerintah daerah,” kata Jefry, Selasa (13/5).
Ia menyebut kegagalan fasilitas yang sudah dibangun sebelumnya, serta kurangnya dorongan terhadap pemilahan sampah organik menyebabkan limbah organik terus terbuang ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA), termasuk pasca kebakaran di TPA Sarimukti.
“Sehingga dengan pengadaan proyek insinerator berpotensi menambah beban anggaran pengelolaan sampah bagi pemerintah daerah,” ujar dia.
Dalam kajian Aliansi Zero Waste Indonesia menyatakan bahwa insinerator yang tidak memenuhi standar dapat menghasilkan dioksin. Senyawa berbahaya penyebab kanker yang dapat terakumulasi di lingkungan.
Selain itu, residu berupa abu pembakaran (fly ash dan bottom ash) mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) yang memerlukan penanganan khusus.
Contoh kasus dalam praktik pembakaran sampah dengan insinerator di TPA Bantargebang, Jawa Barat, telah mengkontaminasi ekosistem sekitarnya dengan polutan berbahaya seperti dioksin dan furan.
“Sampel tanah, telur, dan abu terbang dalam radius tiga kilometer dari TPA menunjukkan kandungan polutan organik persisten (POPs) yang melebihi batas aman. Paparan jangka panjang terhadap zat-zat ini dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan pada anak, kanker, dan masalah kesehatan lainnya,” ujarnya.
Menilik fakta tersebut sebagai alternatif, justru Walhi mendorong solusi yang dinilai lebih berkelanjutan dan aman, seperti pengomposan, budidaya maggot Black Soldier Fly (BSF), serta metode biokonversi lainnya. Mereka juga menekankan pentingnya pengurangan dan pemilahan sampah langsung dari sumbernya.
“Fokus pengelolaan sampah seharusnya ada pada hulu, bukan pada pembakaran,” tegas Jefry.(kus)