RADARBANDUNG.ID, BANDUNG – Kasus pelecehan seksual terhadap delapan santriwati di sebuah pondok pesantren di Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung, mengungkap kegagalan sistemik dalam pengawasan lembaga pendidikan agama.
Insiden ini kembali menyoroti lemahnya perlindungan anak dan pengawasan terhadap institusi keagamaan, khususnya pesantren.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kabupaten Bandung, Ade Irpan Al Anshory, menilai kasus ini tidak dapat dilihat sebagai tindakan individu semata, melainkan sebagai dampak dari lemahnya sistem pengawasan dan regulasi yang belum berjalan maksimal.
“Kekerasan seksual di pesantren ini bukan sekadar tindakan individu, tetapi menggambarkan lemahnya sistem perlindungan anak di lingkungan pendidikan agama,” ujarnya saat ditemui Jumat (16/5).
Ade menegaskan pencegahan kekerasan seksual di lembaga pendidikan agama harus menjadi prioritas utama. Ia mendorong Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Bandung untuk lebih aktif melakukan pembinaan dan memastikan seluruh pesantren memiliki izin resmi serta memenuhi standar perlindungan anak.
“Kami mendorong Kemenag untuk meningkatkan pengawasan dan menjamin semua pesantren mengikuti regulasi yang berlaku,” ucapnya.
Berdasarkan pengawasan KPAD sepanjang 2024, ditemukan berbagai indikasi lemahnya pengawasan internal di sejumlah pesantren di Kabupaten Bandung. Hal ini menjadi bukti bahwa regulasi seperti Pedoman Pesantren Ramah Anak dan Peraturan Menteri Agama (PMA) terkait kekerasan seksual belum diimplementasikan secara efektif di lapangan.
“Selama ini regulasi sudah ada, tapi penerapannya masih sangat lemah,” ujar Ade.
Untuk memperkuat perlindungan anak, KPAD Kabupaten Bandung telah membentuk jaringan relawan di setiap kecamatan. Relawan ini bertugas mendampingi korban kekerasan serta memfasilitasi pelaporan agar anak-anak merasa aman untuk berbicara.
“Dengan adanya relawan ini, kami berharap anak-anak tidak takut melapor dan bisa segera mendapatkan perlindungan,” tambahnya.
Kasus pelecehan ini melibatkan tersangka berinisial RR, yang merupakan pengurus pondok pesantren di Soreang. Kapolresta Bandung, Kompol Luthfi Olot Gigantara, menyebutkan bahwa RR telah melakukan pelecehan seksual sejak 2023. Dari delapan korban, tiga di antaranya mengalami pemerkosaan. Seluruh korban masih berusia antara 15 hingga 18 tahun.
“Tersangka ini sudah beraksi selama lebih dari setahun,” ujar Luthfi.
RR kini ditahan dan dijerat dengan Pasal 81 dan 82 Undang-Undang Perlindungan Anak, dengan ancaman hukuman hingga 15 tahun penjara.
Pondok pesantren tempat kejadian pun diketahui tidak memiliki izin resmi dari Kementerian Agama. Kepala Seksi Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag Kabupaten Bandung, Agus Salman, menyatakan bahwa lembaga tersebut tidak terdaftar secara legal.
“Itu bukan pesantren resmi, hanya mengaku-ngaku saja. Kami tidak pernah memberikan izin operasional pada tempat itu,” tegas Agus, Jumat (17/5).
Ia menjelaskan Kemenag memiliki prosedur ketat untuk pemberian izin operasional pesantren. Pesantren resmi harus melewati proses verifikasi dan validasi, serta akan mendapat pembinaan dan pengawasan rutin dari kementerian.
“Setiap pesantren resmi akan mendapat pembinaan dan pengawasan secara berkala,” tambahnya.
Agus mengakui bahwa kasus serupa sering ditemukan pada lembaga ilegal yang beroperasi tanpa izin.
Ia menegaskan bahwa tindakan tersebut adalah ulah individu yang tidak mencerminkan dunia pesantren secara keseluruhan.
“Kami menganggap ini ulah oknum, bukan gambaran lembaga pendidikan agama secara umum,” tuturnya. (kus)