RADARBANDUNG.ID, JAKARTA – Pernyataan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang menyebutkan bahwa APBD DKI Jakarta cukup untuk memberikan Rp 10 juta kepada setiap keluarga dinilai sebagai wacana populis.

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Foto : Kanal Youtube Lembur Pakuan Channel. Sementara itu foto atas, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Foto : Tim Media KDM
Menurut Peneliti Ekonomi dan Pengembangan Wilayah, Hendrawan Saragi, ide Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi ini memang terdengar menarik dan mudah dicerna publik, tetapi tidak mencerminkan kebijakan fiskal yang bijak.
“Dari 10 juta penduduk Jakarta, terdapat sekitar 2 juta kepala keluarga. Dengan menghitung Rp 10 juta per kepala keluarga, totalnya Rp 20 triliun,” kata Hendrawan saat mengomentari ide Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi sebagaimana dari JawaPos.com, Minggu (18/5/2025).
“Tapi ini bukan komitmen resmi, melainkan janji populis dengan simplifikasi angka,” tambahnya.
Menurut Hendrawan, retorika seperti ini memang efektif menarik simpati masyarakat, terutama mereka yang berharap pada bantuan langsung.
Namun, publik harus menyadari bahwa kebijakan fiskal tidak bisa dibuat hanya berdasarkan angka-angka yang menarik secara retorik, tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap stabilitas ekonomi secara keseluruhan.
Ia menjelaskan, bantuan langsung tunai semacam itu setara dengan menyuntikkan dana Rp 20 triliun secara langsung ke dalam perekonomian Jakarta.
“Bantuan seperti suntikan Rp 20 triliun ke dalam ekonomi dapat memicu inflasi dengan meningkatkan permintaan agregat tanpa diimbangi peningkatan pasokan,” ungkap Hendrawan.
Ia menyebut, inflasi yang tinggi justru akan merugikan masyarakat berpenghasilan rendah karena daya beli mereka semakin tergerus.
Hendrawan menyoroti bahwa APBD DKI Jakarta tahun 2025 mencapai Rp 91,34 triliun, yang sebagian besar bersumber dari pajak daerah seperti pajak bumi dan bangunan (PBB) dan pajak kendaraan bermotor.
“Pajak-pajak ini membebani warga dan bisnis. Mereka mengurangi pendapatan yang bisa dibelanjakan atau diinvestasikan oleh masyarakat,” jelasnya.
Sebagai alternatif, Hendrawan menyarankan pengurangan pajak daerah sebagai solusi yang lebih rasional.
Menurutnya, pengurangan pajak akan mengembalikan dana kepada wajib pajak masyarakat, pengusaha, atau pemilik properti yang memungkinkan mereka untuk membelanjakan, menabung, atau berinvestasi untuk menghasilkan alokasi sumber daya yang lebih optimal.
Ia memberi contoh konkret, pengurangan PBB sebesar Rp 2 triliun bisa menghemat Rp 1 juta per tahun untuk 2 juta pemilik properti atau penyewa.
Hal ini dinilai dapat meningkatkan konsumsi atau tabungan tanpa memicu inflasi.
Pendekatan seperti ini dinilai lebih adil dan efektif, terutama jika diarahkan ke wilayah administratif yang lebih tertinggal seperti Jakarta Utara yang tingkat kemiskinannya mencapai 6,44 persen
“Bayangkan masyarakat yang telah melunasi cicilan rumahnya setelah tiga dekade kerja keras, hanya untuk menemukan bahwa rumahnya bukan sepenuhnya miliknya. Pemerintah daerah menagih pajak properti setiap tahun, seolah-olah dia hanyalah penyewa abadi di tanahnya sendiri,” pungkasnya. (jpc)