RADARBANDUNG.ID, MAKKAH – Wajahnya ramah, tutur katanya tenang.
Di tengah lalu-lalang jemaah yang telah diberangkatkan ke Makkah, Siti Maria Ulfa, 40, tampak berbincang di Hotel Abraj Tabah, Madinah, mendampingi seorang jemaah lansia dan anaknya.
Siang itu, Selasa (20/5/2025), ia tengah memastikan Fatimah Zahro, 41, dan ibunya, Junaina M Yoyyib, 61, bisa tetap berangkat bersama ke Makkah. Sebab, jemaah asal Jember dari kloter SUB 31 itu sempat terpisah. Keduanya sempat terdaftar di bus berbeda karena beda syarikah.
Tapi Fatimah menolak berpisah. Petugas pun mengambil langkah khusus: mencabut nama mereka dari manifest dan memfasilitasi keberangkatan khusus ke Makkah.
Bagi Maria Ulfa, itu bukan kasus pertama. Dalam tugasnya sebagai petugas Tim Lansia Sektor 2 Madinah, menangani jemaah lanjut usia, apalagi yang tanpa pendamping atau terpisah, sudah jadi rutinitas harian. Tapi itu bukan rutinitas yang biasa.
“Kalau lihat jemaah lansia, rasanya kayak lihat orang tua saya sendiri,” ujarnya perlahan, matanya mulai berkaca-kaca.
“Saya belum bisa ngerawat ibu saya sendiri di kampung. Tapi di sini, saya bantu ibu-ibu orang lain. Itu jadi bentuk bakti saya,” lanjutnya. Ia terdiam sejenak, lalu mengusap air mata yang menetes.
Maria Ulfa bukan tenaga medis. Ia adalah seorang ASN di Kementerian Agama RI, menjabat sebagai Ketua Tim Beasiswa Pendidikan Tinggi Keagamaan di Pusat Pembiayaan Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan (PUSPENMA).
Tapi saat bertugas di haji, jabatan ditanggalkan sementara.
Yang ada hanya rasa tanggung jawab sebagai pelayan jemaah lansia.
Perempuan yang tinggal di Jakarta Selatan itu sejatinya lahir di Demak, dan seorang ibu dari tiga anak.
Tapi selama di Madinah, ia seolah menjelma jadi anak bagi puluhan orang tua jemaah yang ia dampingi.
Setiap hari, ia menerima laporan dari ketua kloter atau langsung dari jemaah yang lansianya butuh bantuan khusus. Mulai dari jemaah yang tidak bisa bergerak sendiri, yang lupa karena demensia, hingga yang terpisah dari anak atau pasangannya karena sistem distribusi berdasarkan syarikah.
“Ada yang saya bantu ganti popoknya di toilet, ada juga yang saya bantu bersihin badannya, bajunya, sampai saya antar sendiri ke kamar,” ceritanya.
Dalam satu kasus, ia bahkan harus mengantar lansia yang linglung hingga berkali-kali karena terus lupa di mana kamarnya.
“Kalau kita gak sabar, bisa marah. Tapi saya tahan. Saya anggap beliau kayak ibu saya sendiri.”
Ia sadar, kerja di Tim Lansia bukan sekadar tugas administratif. “Ini bukan soal SOP, ini soal hati. Kadang saya bantu mereka bukan karena perintah, tapi karena saya tahu mereka benar-benar butuh dibantu,” tegasnya.
Di lapangan, tantangan terbesarnya adalah jemaah lansia tanpa pendamping atau pendamping yang pasif.
“Pendamping itu kuncinya. Kalau aktif dan sigap, kita enak. Tapi kalau bingung dan pasif, kita yang harus gercep,” ujarnya.
Salah satu pengalaman yang paling ia ingat adalah saat menangani seorang anak yang nekat ingin membayar taksi sendiri dari hotel ke terminal demi bisa bertemu dan mengantar ibunya yang berusia 89 tahun.
Anak itu terpisah kloternya karena saat pesawat yang membawanya ke Madinah isi avtur di Medan, dia sakit. Oleh dokter, dia dinyatakan tidak layak terbang dan harus dirawat dulu. Setelah sembuh, dia baru menyusul ibunya yang sudah lebih dulu di Madinah.
“Saya lihat sendiri itu anaknya. Dia nangis di depan saya. Itu bikin saya merasa, di sini saya belajar jadi anak yang baik, meski bukan kepada ibu saya sendiri,” tuturnya.
Maria Ulfa percaya, tugasnya bukan sekadar memastikan jemaah tiba di Makkah. Tapi memastikan mereka sampai dengan utuh, selamat, dan tetap merasa dimanusiakan.
“Ini tugas pelayanan. Kalau kita malah gak layani, rasa hati kita yang gak tenang,” katanya.
Ia tak ingin dianggap luar biasa. Yang ia harapkan hanya satu: semoga lewat pelayanannya, para lansia yang datang ke Tanah Suci bisa menunaikan ibadah dengan tenang dan nyaman.(jpc)