RADARBANDUNG. ID, SOREANG- Riak kritik mewarnai peresmian Pasar Sehat Banjaran, pedagang masih pertanyakan tak adanya dialog yang baik antara pedagang, pengelola, dan pemerintah.
Bupati Bandung Dadang Supriatna mengklaim keberhasilan penataan Pasar Banjaran yang kini tampil lebih modern, rapi, dan nyaman. Ia menyebut proyek tersebut sebagai bagian dari program 100 hari kerjanya.
“Pasar Sehat Banjaran ini dibangun untuk menjawab kebutuhan masyarakat sekaligus menata ulang wajah Banjaran sebagai simpul ekonomi selatan Kabupaten Bandung,” ujar Dadang, Selasa (27/5).
Pasar ini kini memiliki hampir 2.000 kios dan lapak, serta dilengkapi fasilitas pendukung seperti drainase, toilet, taman bermain, hingga ruang terbuka hijau.
“Terminal Banjaran dan Masjid Al-Madinah juga turut direnovasi dan diresmikan bersamaan,” ujar dia.
Menurut Dadang, revitalisasi ini mampu merapikan area perdagangan dan mengakomodir pedagang kaki lima agar terintegrasi dalam satu kawasan.
“Saya berharap pasar ini mendorong pertumbuhan ekonomi mikro dan meningkatkan kenyamanan warga,” ungkap dia.
Sementara itu, Revitalisasi Pasar Banjaran yang digadang-gadang sebagai tonggak kemajuan ekonomi oleh pemerintah, menyisakan luka bagi sejumlah pedagang lama.
Cecep Rahman, tokoh pedagang Pasar Banjaran, menyuarakan keresahan kolektif mereka yang merasa belum mendapatkan keadilan dalam proses pembangunan tersebut.
“Kami setuju pasar ditata lebih baik, tapi bukan berarti kami yang sudah puluhan tahun berdagang di sini harus tersingkir,” kata Cecep, Selasa (27/5).
Cecep menyoroti belum adanya kepastian penempatan kios bagi banyak pedagang lama. Meski revitalisasi sudah selesai, sebagian besar pedagang masih bertahan di lapak semi permanen karena tidak mendapatkan kios di gedung baru. Lebih dari itu, mereka kini dihadapkan pada surat pemberitahuan pembongkaran dari pengelola pasar, PT Bangun Niaga Perkasa (BNP), tanpa adanya solusi relokasi sementara.
“Tidak ada dialog, tidak ada solusi. Kami hanya diberi surat untuk bongkar. Ini bukan hanya menyulitkan kami, tapi juga bentuk ketidakadilan,” ujarnya.
Ia menyayangkan pendekatan sepihak dari pengelola yang dinilai abai terhadap nasib para pelaku usaha kecil. Cecep juga mengingatkan bahwa para pedagang memiliki dasar keberadaan yang sah di area lama, bahkan sempat diizinkan oleh Muspika dan diatur melalui peraturan desa.
“Dulu kami diizinkan berjualan di Jalan Kiartasan. Sekarang setelah pasar jadi bagus, kami seolah tidak punya tempat lagi. Kami ini bagian dari denyut ekonomi pasar, kenapa malah disingkirkan?” ungkapnya.
Menurutnya, revitalisasi semestinya mengedepankan keadilan sosial, bukan sekadar estetika fisik. Ia meminta pemerintah daerah dan pengelola memberikan jaminan tempat berdagang yang layak bagi seluruh pedagang lama, bukan hanya bagi mereka yang mampu membayar lebih dulu atau memiliki akses lebih dekat ke pengelola.
“Jangan sampai pasar baru yang katanya sehat justru menciptakan ketimpangan baru. Kami hanya ingin terus berjualan dengan tenang,” pungkasnya. (kus)