RADARBANDUNG.ID, KOTA BANDUNG – Skandal yang melibatkan dokter residen Priguna Anugerah Pratama mengguncang dunia medis Tanah Air. Perlahan, teka-teki soal asal muasal obat bius yang digunakannya untuk melumpuhkan para korban kini mulai terkuak. Investigasi internal Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung bersama kepolisian mengungkap Priguna memanfaatkan celah pengawasan di rumah sakit pendidikan tersebut untuk mengumpulkan obat bius secara ilegal.
Dokter muda dari Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Padjadjaran (Unpad) itu diketahui menyisihkan sebagian kecil dosis obat bius dalam setiap tindakan medis yang ia lakukan. Praktik ini, yang dilakukan berulang kali secara diam-diam, memungkinkan Priguna mengumpulkan cukup banyak stok untuk menjalankan aksinya yang keji.
“Setiap kali mengambil obat bius, dia hanya memberikan tiga per empat dosis ke pasien. Sisa seperempat dosis ia simpan dan bahkan diisap sendiri,” ujar Direktur Utama RSHS, dr. Rachim Dinata Marsidi, saat ditemui, Selasa (10/6/2025).
Rachim Dinata menjelaskan pola yang sama terus dilakukan. Sedikit demi sedikit, obat bius yang seharusnya diberikan penuh kepada pasien dialihkan ke kantong pribadi Priguna. Tanpa sepengetahuan pihak rumah sakit, Priguna berhasil mengumpulkan cadangan obat yang kemudian digunakan untuk melumpuhkan setidaknya tiga korban dalam aksi pemerkosaan yang kini tengah ditangani aparat penegak hukum.
“Obat itu dari apotek memang sudah keluar resmi, tetapi seperempat dosis disimpan sendiri oleh dia. Pasien berikutnya pun diperlakukan sama. Akhirnya, dalam beberapa kali tindakan, dia bisa mengumpulkan satu ampul penuh,” jelas Rachim.
Pertanyaan soal lemahnya pengawasan internal rumah sakit pun mengemuka. Rachim tak menampik ada celah dalam sistem yang dimanfaatkan oleh Priguna. Meski setiap pengeluaran obat tercatat dan pengembaliannya diawasi, pelaku cerdik memanfaatkan ruang dalam proses administrasi dan teknis di lapangan.
“Pengawasannya bukan berarti longgar. Obat yang keluar dan kembali itu memang dicatat. Tapi di tengah proses, dia ambil sebagian secara pribadi. Kami tidak mungkin mengawasi setiap dokter secara fisik terus-menerus,” ujar Rachim.
Lebih lanjut, Rachim menegaskan motif Priguna murni berasal dari niat pribadi. Pihak rumah sakit tidak pernah mencurigai adanya penyimpangan seksual atau niat jahat dari dokter residen tersebut sebelumnya.
“Dia memang sudah punya motif. Bayangkan saja, satu ampul obat dibagi-bagi, dari empat pasien dia bisa dapat satu ampul utuh. Kami benar-benar tidak tahu sebelumnya kalau dia punya kelainan seksual,” ungkapnya.
Rachim menegaskan sebagai langkah korektif, RSHS kini memperketat prosedur pengambilan obat bius. Para dokter residen tidak lagi diperkenankan mengambil obat secara langsung. Seluruh pengambilan obat kini wajib dilakukan oleh dokter penanggung jawab pasien (DPJP) atau perawat yang berwenang.
“Sekarang sudah kami ubah. Tidak ada lagi dokter residen yang bisa mengambil obat sendiri. Semua melalui DPJP atau perawat. Ini untuk mencegah hal seperti ini terulang lagi,” tegas Rachim.
Dari hasil penyelidikan, polisi memastikan seluruh obat bius yang digunakan oleh Priguna memang berasal dari dalam RSHS. Namun, selain mengakali sisa dosis, pelaku juga diduga memalsukan proses pengambilan obat dengan membuat resep sendiri.
“Obat bius itu dia peroleh dari dalam RSHS. Dia membuat resep sendiri agar bisa mengambil obat. Ini sudah jelas menyalahi prosedur yang ada,” ungkap Direktur Ditreskrimum Polda Jabar, Kombes Pol Surawan.
Surawan juga mengungkapkan takaran obat yang digunakan oleh Priguna dalam aksinya tidak mengikuti standar medis. Pelaku menentukan sendiri dosis yang disuntikkan kepada para korban.
“Untuk dosis, pelaku mengukurnya sendiri sesuai kehendaknya,” tambah Surawan.
Kasus ini memantik sorotan tajam dari kalangan profesi medis. Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Barat, dr. Moh. Luthfi, mengingatkan dokter residen sejatinya tidak memiliki kewenangan untuk menggunakan obat-obatan, apalagi jenis bius, secara bebas.
“Di rumah sakit pendidikan, ada prosedur yang sangat ketat. Seorang residen harus mengajukan permohonan kepada supervisornya terlebih dahulu. Setelah disetujui, barulah instalasi farmasi mengeluarkan obat sesuai kebutuhan pasien,” jelas Luthfi.
Luthfi menambahkan kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi seluruh rumah sakit pendidikan di Indonesia. Sistem pengawasan dan tata kelola obat-obatan harus diperkuat agar celah-celah penyalahgunaan seperti ini tidak lagi dimanfaatkan.
“Ini adalah peringatan keras. Sistem harus diperketat. Tidak boleh ada ruang sekecil apa pun untuk penyalahgunaan obat,” pungkas Luthfi.(dsn)