News

Dilema Kemajuan Kabupaten Bandung: Hutan Digunduli Banjir Menghantui

Radar Bandung - 21/06/2025, 10:43 WIB
AM
Azam Munawar
Tim Redaksi

RADARBANDUNG.ID, KABUPATEN BANDUNG – Di tengah sorak-sorai atas predikat Kabupaten Bandung sebagai daerah termaju kedua di Jawa Barat versi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), suara lirih datang dari kawasan hutan di Pacet.

Dilema Kemajuan Kabupaten Bandung: Hutan Digunduli Banjir Menghantui

Pengendara menerobos genangan air yang masih nampak di Desa Pesawahan, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Minggu (7/5). Sementara itu foto atas, Ilustrasi. Warga Banjaran Kabupaten Bandung menerjang banjir setinggi 80 cm. Foto-foto : TAOFIK ACHMAD HIDAYAT / RADAR BANDUNG

Pohon-pohon yang dulu melindungi tanah dan menjaga ekosistem hutan Pacet Kabupatem Bandung kini roboh satu per satu, digantikan oleh perluasan kebun kopi dan aktivitas pembangunan.

Kawasan hutan lindung di Desa Babakan, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung menjadi saksi dari ekspansi pembangunan yang mengorbankan tutupan hijau.

Deforestasi terjadi masif dalam beberapa tahun terakhir, dan warga menyebutkan bahwa aktivitas ini terkait dengan pelonggaran izin dalam program Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK).
Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I) menyebut bahwa KHDPK yang dimaksudkan untuk pemberdayaan masyarakat justru menjadi celah masuknya kepentingan ekonomi skala besar.

Kawasan lindung dibuka secara masif, diduga atas dorongan investor yang memanfaatkan kelonggaran pasca Undang-Undang Cipta Kerja.

Hutan di Pacet ini bukan gundul karena kebutuhan masyarakat. Ini ulah aktor-aktor ekonomi yang hanya melihat pohon sebagai komoditas, bukan penjaga ekosistem,” tegas Ketua FK3I Nasional, Dedi Kurniawan, Jumat (20/6/2025).

Ia juga menyoroti lemahnya pendampingan dan kontrol dari negara. Menurut Dedi, tidak ada pendekatan ekologi maupun konsultasi yang serius dengan masyarakat sebelum penetapan kawasan KHDPK.

“Legalitas ini seperti selimut bagi deforestasi. Hutan ditebang secara sah tapi merusak secara sistematis,” tambahnya.
Tak hanya kerusakan lingkungan, dampak konkret sudah mulai terasa di masyarakat. Wilayah hilir seperti Baleendah dan Dayeuhkolot masih terus dihantui banjir setiap musim hujan. Dedi menyebutkan, hilangnya fungsi hutan sebagai daerah resapan menjadi salah satu penyebab mengapa banjir sulit dikendalikan meski berbagai proyek normalisasi telah dilakukan.
“Setiap tahun kita bicara tanggul, pompa air, dan relokasi. Tapi selama hutan di hulu terus dibabat, banjir akan terus jadi warisan bagi anak cucu,” ujar Dedi.

Sementara itu, BRIN melalui riset Indeks Daya Saing Daerah (IDSD) 2025 menempatkan Kabupaten Bandung di posisi kedua termaju di Jawa Barat, dengan skor 3,86.

Angka ini diperoleh dari kombinasi indikator seperti infrastruktur, digitalisasi layanan, inovasi, dan ekonomi lokal.

Namun, FK3I mengingatkan bahwa kemajuan statistik tidak boleh melupakan fondasi ekologis.

Menurut mereka, indeks daya saing yang tinggi justru harus diimbangi dengan indeks keberlanjutan lingkungan yang kuat, bukan dimenangkan dengan mengorbankan hutan lindung.

Pacet adalah barometer, bukan hanya dari sisi ancaman ekologis, tetapi juga dari arah pembangunan kita. Apakah kita membangun untuk hari ini, atau juga memikirkan seratus tahun ke depan?” pungkas Dedi. (kus)

Live Update