RADARBANDUNG.ID, KOTA BANDUNG — Di tengah derasnya arus informasi digital dan pergeseran gaya konsumsi media, Pesantren Persatuan Islam (Persis) 01-02 Bandung menunjukkan langkah progresif dengan menyelenggarakan talkshow bertema “Pemuda dan Dakwah dalam Lintas Generasi” dalam rangkaian acara HIPA ’25 (Haflah Imtihan dan Pekan Amal), Sabtu (28/6/2025).

Pesantren Persatuan Islam (Persis) 01-02 Bandung menunjukkan langkah progresif dengan menyelenggarakan talkshow bertema “Pemuda dan Dakwah dalam Lintas Generasi” dalam rangkaian acara HIPA ’25 (Haflah Imtihan dan Pekan Amal), Sabtu (28/6/2025). Foto-foto : For Radar Bandung
Acara yang digelar di arena utama HIPA ’25 ini dihadiri peserta dari kalangan santri, asatidz, alumni, tokoh masyarakat, hingga tamu undangan.
Talkshow tersebut menjadi ruang strategis untuk mempertemukan gagasan lintas generasi mengenai posisi dan peran pemuda dalam menjaga marwah dakwah serta menjaga keberlanjutan tradisi literasi berkualitas.
Talkshow ini menghadirkan narasumber penting di antaranya: Biri Rachman, S.Pd. (Ketua Pemuda Persis Kota Bandung), Zaenal Ihsan, S.Sos (Ketua PWI Kota Bandung), Fajar Shiddiq (Tokoh Pemuda Persis), Arga Adha Anwari, S.Hum
Arga Adha Hawari, S.Hum. (Pemimpin Redaksi Buletin Baitul Qolam), sarta M. Ramdlan Nurrohman (Pemerhati Media & Publishing).
Literasi: Dari Membaca ke Menjawab Tantangan Zaman
Dalam paparannya, Biri Rachman menegaskan bahwa literasi hari ini tak bisa hanya dimaknai sebatas kemampuan membaca dan menulis. Lebih dari itu, literasi menjadi medium untuk membangun nalar kritis, merumuskan gagasan, serta melatih sensitivitas sosial di tengah era distraksi digital.
“Literasi adalah pondasi peradaban. Ia menanamkan keberanian berpikir kritis, ketajaman analisis, serta keterampilan mencari solusi. Namun hari ini, pemuda dihadapkan pada tantangan besar: banjir notifikasi, budaya scrolling tanpa makna, dan glorifikasi gaya hidup yang kadang menjebak dalam ilusi sosialita. Semua itu, bila tidak dikendalikan, bisa menggerus fokus dan idealisme generasi muda,” tegas Biri.
Sementara itu, Zaenal Ihsan menyoroti bahaya informasi liar di ruang publik digital. Sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kota Bandung, Ihsan sapaan akrabnya menekankan pentingnya edukasi media kepada masyarakat umum—terutama dalam membedakan antara liputan netizen dan produk jurnalistik.
“Netizen Journalism kehadirannya sangat baik untuk membuka ruang penyebaran informasi melalui media sosial. Namun bagi netizen atau warganet tentu saja perlu kehati-hatian atau bijak dalam menggunakan medsos. Sebab tak sedikit warganet yang berujung berhadapan dengan hukum akibat unggahannya. Banyak masyarakat hari ini tidak menyadari bahwa konten yang viral belum tentu sepenuhnya benar,” jelas Ihsan sapaan akrabnya.
Menurutnya, produk jurnalistik itu memiliki landasan hukum dan etika. Berita yang dibuat wartawan profesional, sambungnya, dilindungi oleh UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, sementara unggahan netizen mrlalui medsos —meski viral— tidak memiliki kekuatan hukum.
“Ini sangat krusial untuk dipahami oleh generasi melek digital. Jika selama unggahannya atau penyajian informasi dalam batas tak mengandung unsur rasisme, hoaks ataupun sentimen keagamaan itu sah-sah saja. Tetapi jika unggahannya beresiko atau resisten terhadap aduan, maka tak sedikit yang harus berhadapan dengan UU ITE,” papar Ihsan.
Menyalakan Gairah Menulis dari Pesantren
Kehadiran Arga Adha Hawari dan Fajar Shiddiq membawa napas segar dalam diskusi. Mereka memperkenalkan Buletin Baitul Qolam, sebuah media literasi internal kalangan santri yang mulai berkembang menjadi ruang ekspresi dan edukasi.
“Buletin ini bukan hanya alat dakwah, tapi juga laboratorium intelektual. Kami ingin menciptakan budaya menulis di kalangan santri dan pemuda—bukan sekadar sebagai tugas, tapi sebagai bagian dari gaya hidup berpikir,” jelas Arga.
Sedang Fajar Shiddiq menambahkan bahwa langkah kecil ini diharapkan mampu menumbuhkan keberanian generasi muda untuk bersuara, serta menciptakan jejaring pemikiran alternatif yang tetap berakar pada nilai-nilai Islam.
Sebagai penutup, M. Ramdlan Nurrohman memaparkan analisisnya tentang media cetak di era digital. Menurutnya, walau media daring tengah mendominasi, media cetak tidak serta-merta kehilangan tempat. Yang dibutuhkan adalah inovasi dan penyesuaian.
“Media cetak bisa hidup kembali jika memahami pembaca. Desain, narasi, visual, hingga kecepatan distribusi harus diperhatikan. Jangan sampai media mencetak tulisan yang basi—sudah banyak berseliweran di internet—dan kehilangan daya pikatnya,” tutur Ramdlan.
Acara talkshow ini ditutup dengan sesi interaktif tanya-jawab antara peserta dan narasumber. Beberapa peserta yang aktif diberi hadiah berupa buletin eksklusif. Suasana hangat, penuh inspirasi, dan dibalut semangat ukhuwah terlihat dari antusiasme peserta hingga akhir acara.
Dengan kegiatan ini, HIPA ’25 tak hanya menjadi momen seremonial kelulusan santri, tapi juga ruang dialektika pemikiran untuk menjawab tantangan zaman dengan senjata utama: pena, ide, dan kepekaan sosial. (*)
Live Update
- Latief Awaludin Paparkan Program Kepengurusan IKA-PPI Pajagalan Bandung 9 bulan yang lalu
- Munas II IKA-PPI Pajagalan Bandung Akan Segera Digelar 9 bulan yang lalu