RADARBANDUNG.ID, KOTA BANDUNG – Situasi memanas di Kebun Binatang Bandung mencapai puncaknya, Rabu (2/7/2025) malam. Sekitar pukul 23.30 WIB, bentrokan fisik terjadi antara puluhan karyawan yang tergabung dalam Serikat Pekerja Mandiri Derenten (SPMD) dengan pihak keamanan Red Guard, vendor yang diklaim disewa oleh manajemen baru yang mengaku berasal dari Taman Safari Indonesia (TSI). Akibat insiden itu, Gantira Bratakusuma, cucu pendiri Kebun Binatang Bandung sekaligus pembina Yayasan Margasatwa Tamansari (YMT), mengalami luka di bagian kening.
Humas Bandung Zoo, Sulhan Syafii menjelaskan keesokan harinya, Kamis (3/7/2025), pengelolaan tidak kondusif berujung pada keputusan drastis, Bandung Zoo resmi ditutup sementara. Puluhan karyawan masih berjaga di beberapa titik strategis, termasuk ruang keuangan, sebagai bentuk pengamanan dan penolakan terhadap manajemen yang mereka anggap tidak sah secara hukum.
Sulhan mengungkapkan konflik yang berkepanjangan ini bermula dari kedatangan pihak yang mengaku mewakili TSI pada 20 Maret 2025 lalu. Sejak itu, terjadi perubahan drastis dalam sistem manajerial, termasuk sistem pembayaran tiket masuk yang sebelumnya nontunai menjadi sepenuhnya tunai. Imbasnya, uang dalam jumlah besar terkonsentrasi di ruang keuangan dan dikhawatirkan disalahgunakan.
“Kami meminta akta legalitas mereka sejak pertama datang. Hingga kini, tidak pernah sekalipun mereka menunjukkan dokumen sah yang menyatakan TSI adalah pengelola resmi Bandung Zoo,” tegas Sulhan Syafii saat dikonfirmasi, Kamis (3/7/2025).
Menurut Ketua Serikat Pekerja Mandiri Derenten, Yaya Suhaya, seluruh karyawan selama ini bekerja berdasarkan kontrak kerja dengan Yayasan Margasatwa Tamansari, bukan dengan TSI. Ia menyebut pihaknya tidak akan tunduk pada manajemen baru yang tidak mampu menunjukkan dasar hukum kepengelolaannya.
“Kalau mereka ilegal, mengapa bisa masuk dan menguasai fasilitas publik seperti kebun binatang? Ini bukan hanya soal administrasi, tapi menyangkut tanggung jawab terhadap satwa dan pengunjung,” tegas Yaya.
Yaya pun mengungkap, sejak kedatangan pihak TSI, sudah tujuh ekor satwa dilaporkan mati, kondisi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kejadian itu memperkuat keyakinan mereka transisi manajemen ini cacat prosedur dan merugikan ekosistem konservasi.
Sulhan menambahkan kericuhan pada malam itu juga dipicu oleh keberadaan vendor keamanan Red Guard, yang tidak memiliki kontrak kerja sama dengan YMT. Serikat pekerja menegaskan satu-satunya vendor resmi yang memiliki MoU dengan YMT adalah Pasopati.
“Red Guard datang atas perintah manajemen yang tidak jelas. Mereka bahkan berani memaksa masuk ke ruang keuangan, dengan dalih ingin menggunakan uang hasil penjualan tiket untuk membayar jasa mereka. Kami tolak! Itu uang publik, bukan milik pribadi,” ungkap Sulhan.
Lebih lanjut, Sulhan pun mengungkapkan kunci ruangan keuangan pun kemudian diamankan oleh Gantira Bratakusuma. Namun, upaya itu memicu bentrok fisik hingga Gantira terluka. Beberapa karyawan perempuan bahkan dilaporkan sempat dihantam oleh anggota keamanan bertubuh besar dari Red Guard.
Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan turut menanggapi kisruh pengelolaan ini. Ia menegaskan konflik ini merupakan tanggung jawab Yayasan Margasatwa Tamansari, selaku pihak yang mendapatkan izin konservasi Ex Situ dari Kementerian Kehutanan.
“Pemerintah sudah berkali-kali melakukan mediasi, tapi hasilnya selalu mandek. Kami lelah mengurus konflik internal yang tak kunjung selesai,” ujar Farhan saat ditemui wartawan di Jl. Sukabumi, Kamis (3/7/2025).
Farhan bahkan menyebut jika konflik terus berlarut, ia tidak segan untuk meminta peninjauan ulang atas izin konservasi yang telah dikeluarkan pemerintah pusat kepada pengelola Bandung Zoo.
Yaya menambahkan dalam pertemuan internal dengan para karyawan, Gantira Bratakusuma menunjukkan Akta Notaris Nomor 40 tertanggal Oktober 2024, yang menetapkan Bisma Bratakusuma sebagai ketua pengurus Yayasan Margasatwa Tamansari. Dokumen itu menjadi dasar sah kepengelolaan yang hingga kini belum mampu ditandingi oleh pihak TSI.
Menurutnya, para pekerja menegaskan mereka tidak menolak perubahan manajemen, asalkan melalui prosedur hukum yang benar dan tidak merugikan pekerja maupun satwa. Mereka menginginkan pengelola baru yang memiliki legalitas jelas, sistem kerja transparan, serta menghormati hak-hak pekerja dan perlindungan satwa.
Yaya menegaskan, konflik ini bukan hanya soal siapa yang berkuasa, tetapi soal nasib satwa, nasib pekerja, dan kredibilitas lembaga konservasi di mata publik. Ia meminta pemerintah, aparat hukum, dan Kementerian Kehutanan untuk bertindak tegas menengahi masalah ini sebelum reputasi Bandung Zoo hancur total.
“Jangan sampai ketika satwa mati, pekerja disalahkan. Padahal penyebabnya adalah ketidakjelasan siapa yang sesungguhnya mengelola tempat ini,” pungkasnya.(dsn)