RADARBANDUNG.ID, SOREANG – Kebijakan penambahan jumlah siswa dalam satu rombongan belajar (rombel) di sekolah negeri dari 36 menjadi 50 siswa menuai sorotan tajam dari para legislator dan pengelola sekolah swasta di Kabupaten Bandung.
Ketua Fraksi Demokrat DPRD Kabupaten Bandung, H Asep Ikhsan menyebut, kebijakan tersebut secara langsung menggerus peluang sekolah swasta mendapatkan peserta didik baru.
“Kalau kuota penerimaan murid baru 50 per kelas, bagaimana dengan sekolah swasta? Tidak kebagian murid atuh,” ujar Asep Ikhsan, yang juga anggota Komisi D DPRD Kabupaten Bandung, Senin (14/7).
Menurut Asep, seharusnya pemerintah tetap mempertahankan batas maksimal 36 siswa per kelas. Ia juga mendorong agar masyarakat tidak hanya berorientasi pada sekolah negeri.
“Padahal kurikulum dan ijazah di sekolah negeri dan swasta sama. Banyak sekolah swasta yang sangat peduli dan bahkan menggratiskan biaya untuk siswa dari keluarga tidak mampu,” katanya.
Data dari Forum Kepala Sekolah Swasta (FKSS) Kabupaten Bandung menunjukkan, dari 35 sekolah swasta yang dilaporkan, 25 mengalami penurunan jumlah pendaftar pada tahun ajaran 2025/2026.
Sementara itu, Ketua FKSS Jawa Barat menyampaikan, sekitar 95 persen sekolah swasta di seluruh Jawa Barat tidak memenuhi kuota minimum siswa baru, sebuah kondisi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Tak hanya itu, banyak sekolah swasta yang harus menunda Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) karena belum mencukupi jumlah peserta didik baru untuk membuka rombel.
Dampaknya bukan hanya pada institusi, tapi juga terhadap guru-guru bersertifikasi yang terancam kehilangan jam mengajar dan insentif.
Berdasarkan data Dinas Pendidikan Jabar, dari sekitar 123.000 siswa SMA/SMK/SLB di Kabupaten Bandung tahun 2024, sebanyak 83.000 siswa (67%) bersekolah di lembaga swasta, sementara sisanya tersebar di 33 sekolah negeri.
Jumlah sekolah swasta juga jauh lebih banyak, yakni mencapai 270 sekolah dibanding hanya 33 sekolah negeri.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa sekolah swasta sebenarnya memegang peran signifikan dalam sistem pendidikan, tetapi tengah berada dalam ancaman eksistensial akibat kebijakan kuota rombel yang membengkak di sekolah negeri.
Asep pun mengajak pemerintah untuk mensosialisasikan bahwa sekolah swasta bukan berarti mahal. Banyak sekolah swasta yang telah bertransformasi dengan pendekatan sosial menggratiskan uang masuk hingga SPP.
Lebih lanjut, Asep menolak keberadaan praktik “jalur langit” atau titipan dalam penerimaan murid baru.
“Saya tidak pernah menerima atau merekomendasikan titipan. Saya berpihak pada swasta karena mereka pun bagian dari tanggung jawab negara dalam menyelenggarakan pendidikan,” ucapnya. (kus)