RADARBANDUNG.ID, KOTA BANDUNG – Di tengah maraknya isu beras oplosan di pasaran, kepercayaan masyarakat terhadap pasar tradisional justru meningkat. Sejumlah konsumen kini memilih membeli beras langsung dari pedagang lokal yang dinilai lebih transparan dan aman dibandingkan produk kemasan di pasar modern.
Pedagang beras di Pasar Kosambi, Jalan A. Yani, Kota Bandung, Rahmat Kurnia mengungkapkan kabar mengenai beras oplosan mulai ramai sejak muncul di media sosial. Produk yang kerap menjadi sorotan adalah beras kemasan lima kilogram yang beredar luas di ritel modern.
“Isunya memang ramai di online, terutama soal beras kemasan pabrikan. Di pasar tradisional juga ada, tapi jumlah dan variannya tidak banyak,” ujar Rahmat saat ditemui, Minggu (20/7/2025).
Menurutnya, perbedaan utama antara pasar modern dan tradisional terletak pada sumber pasokan. Di pasar tradisional, pedagang cenderung mengambil langsung dari petani atau pengepul yang sudah dikenal.
“Saya sendiri sudah lama kerja sama dengan pemasok tetap. Jadi kualitasnya jelas dan bisa dipercaya,” tambahnya.
Rahmat juga menyoroti dampak langsung dari isu ini. Ia mengakui ada peningkatan jumlah pembeli yang beralih ke kiosnya, namun sebagian konsumen masih dibayangi kekhawatiran.
“Ada plus minusnya. Ada yang makin percaya dan beli di pasar tradisional, tapi ada juga yang trauma, takut semua beras dianggap sama,” ujarnya.
Di sisi lain, ia menilai praktik oplosan muncul sebagai respons terhadap naiknya harga beras dan menipisnya stok di petani.
“Misalnya harga naik jadi Rp16 ribu per kilo, sementara daya beli turun. Akhirnya ada yang mencampur beras untuk menekan harga. Tapi cara itu keliru dan merugikan pembeli,” jelasnya.
Rahmat menegaskan praktik semacam itu tidak hanya menyalahi etika usaha, tapi juga bertentangan dengan nilai agama.
“Ngoplos buat cari untung jangka pendek, tapi akhirnya merugi karena kehilangan kepercayaan,” tegasnya.
Sementara itu, Kepala Bulog Cabang Bandung, Ashville Nusa Panata menegaskan lembaganya tidak pernah melakukan praktik pengoplosan.
“Bulog tidak mengenal istilah beras oplosan. Yang kami lakukan hanya pengolahan sesuai preferensi pasar, seperti kadar air atau warna beras,” jelas Ashville.
Bulog Bandung juga telah melakukan pengecekan langsung ke sejumlah pasar di wilayah Bandung Raya, bekerja sama dengan Dinas Perdagangan, Ketahanan Pangan, dan aparat penegak hukum (APH).
“Kami sudah turun ke Sumedang dan Bandung Barat. Hasilnya, tidak ditemukan indikasi beras oplosan di lapangan,” ungkap Ashville.
Ashville menambahkan pengawasan terhadap distribusi beras terus dilakukan, meski belum semua titik terjangkau secara rutin.
“Kami aktif koordinasi dan pengambilan sampel dilakukan bersama pihak terkait,” ujarnya.
Pemerintah sendiri melalui berbagai lembaga, seperti Kementerian Perdagangan dan Badan Ketahanan Pangan, disebut Rahmat secara rutin melakukan pengecekan ke pasar.
“Biasanya sebulan bisa dua kali ada pemeriksaan. Tapi selama ini kios saya aman karena barangnya jelas,” ungkap Rahmat.
Di tengah gejolak isu beras oplosan, transparansi jalur distribusi dan kepercayaan antara pedagang dan konsumen menjadi modal penting dalam menjaga stabilitas pangan.
“Pasar tradisional yang mengandalkan kedekatan dengan petani dinilai lebih mampu menjaga kualitas dan keamanan produk, terutama di masa krisis kepercayaan seperti saat ini,” pungkasnya.(dsn)