RADARBANDUNG.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga mantan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, menyamarkan kepemilikan sejumlah kendaraan dengan cara mengatasnamakan pegawainya. Hal ini diketahui setelah penyidik KPK menyita kendaraan yang diduga terkait tindak pidana korupsi pengadaan iklan pada PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (BJB).
“Kalau tidak salah itu ajudannya atau pegawainya, gitu ya. Pegawainya beberapa itu (kendaraan) diatasnamakan di situ,” kata Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu kepada wartawan, Jumat (25/7).
Langkah tersebut diduga merupakan bagian dari strategi menyamarkan kepemilikan aset yang kerap ditemui dalam sejumlah kasus korupsi. Penyamaran melalui pihak ketiga bisa menjadi indikasi upaya menghindari pelacakan oleh aparat penegak hukum.
Meski demikian hingga kini, KPK belum memeriksa Ridwan Kamil secara langsung. Asep menyebut pihaknya masih menelusuri keterkaitan kepemilikan kendaraan tersebut sebelum menjadwalkan pemeriksaan terhadap mantan wali kota Bandung itu.
“Kami ditanya, kenapa RK belum diperiksa? Ya, kami sedang mendalami itu (kepemilikan kendaraan Ridwan Kamil),” tegasnya.
KPK sendiri telah menggeledah rumah Ridwan Kamil yang berlokasi di Bandung, Jawa Barat, pada 10 Maret 2025. Dalam penggeledahan itu, KPK telah menyita motor Royal Enfield dari mantan Gubernur Jabar tersebut.
Selain Royald Enfield, KPK juga telah menyita satu unit mobil bermerk Mercedes Benz 280 SL. Kedua kendaraan yang disita itu disinyalir mengatasnamakan pegawainya untuk menyamarkan kepemilikan aset tersebut.
“Mobil dan motor itu, itu mengatasnamakan orang lain,” ucap Asep.
Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan mantan Direktur Utama PT BPD Jawa Barat dan Banten alias Bank BJB, Yuddy Renaldi bersama empat orang lainnya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dana iklan.
Selain Yuddy Renaldi, KPK juga menetapkan Pimpinan Divisi Corsec BJB, Widi Hartoto. Serta tiga orang pihak agensi di antaranya ID, SUH dan SJK.
Kasus dugaan korupsi dana iklan untuk penayangan di media TV, cetak, dan online itu diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp 222 miliar. (jpc)