RADARBANDUNG.ID, KOTA BANDUNG – Pemerintah Provinsi Jawa Barat menerapkan kebijakan rombongan belajar (rombel) untuk 16 Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri dan 1 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri.
Teknis rombel ini tertuang dalam Keputusan Gubernur Jabar Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025 tentang Petunjuk Teknis Pencegahan Anak Putus Sekolah (PAPS) dan sudah mulai diterapkan di sekolah pada Juli lalu.
Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), dalam rentang 2023–2025, terdapat 66.385 anak di Jawa Barat yang putus sekolah dan 133.258 anak tidak melanjutkan pendidikan.
Oleh karena itu, Pemprov jabar memberlakukan kebijakan ini dengan tujuan memastikan semua anak mendapatkan hak pendidikan, mencegah anak putus sekolah, dan meningkatkan akses layanan pendidikan.
Namun, pada praktiknya, kebijakan ini mendapat respons pro-kontra khususnya pihak sekolah swasta.
Ketua Umum Forum Kepala Sekolah SMA Swasta (FKSS) Jawa Barat, Ade D Hendriana, menyebutkan kebijakan ini menurunkan jumlah siswa baru di SMA swasta secara signifikan.
“Dari tahun ke tahun memang sekolah-sekolah swasta itu mengalami penurunan, karena adanya jalur domisili. Kemudian, 2 tahun kebelakang, kita semakin menurun karena adanya program sekolah penyangga. Secara terdampaknya jelas. Ada sekolah-sekolah bahkan yang tidak mempunyai siswa, dan bahkan ada yang kepala sekolahnya diberhentikan,” ungkap Ade saat ditemui di SMA Guna Dharma, Jumat (8/8/2025).
Menanggapi hal ini, pengamat kebijakan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Cecep Darmawan mengungkapkan sejatinya kebijakan ini merupakan langkah darurat yang dilakukan oleh Pemprov Jabar guna mengatasi permasalahan anak putus sekolah di Jawa Barat.
“Ya memang kalau kondisi normal, itu memang seharusnya maksimal 36. Tapi saya bilang, Gubernur Jawa Barat itu kan berpikirnya karena darurat banyaknya anak putus sekolah sehingga perlu dioptimalkan. Memang, tentu tidak ideal ya (kebijakan rombel). Tidak bisa ideal,” jelas Cecep sata dimintai keterangan via telepon, Jumat (8/8/2025).
Disamping itu, saat memberikan tanggapan, Cecep sempat menyarankan beberapa alternatif ihwal kebijakan ini.
“Jadi pada sistem pembelajarannya tetap sama. Kan tidak semua kelas 50. Jadi, khusus kelas-kelas dengan murid cukup, di shiftkan. Alternatif kedua, bisa model belajar sebagian di dalam, sebagian di luar. Tetapi, harus dipastikan belajar di luar itu tidak terganggu. Ada mejanya, ada kursinya. Pokoknya dirancang dengan baik,” jelasnya.
Selain menyarankan teknis yang bisa dilakukan agar pembelajaran tetap efektif, Cecep juga menyarankan perlu adanya evaluasi dan perbaikan di tahun depan. Evaluasi tersebut mencakup pendataan lapangan yang komprehensif dari pemetaan kondisi realitas sekolah.
Ade juga menyarankan untuk ada komunikasi dan komitmen dengan pihak sekolah swasta.
Menurutnya, data anak-anak putus sekolah sebaiknya dicari dan didata oleh kepala desa di awal kebijakan ini akan diberlakukan, bukan di tengah-tengah penerapan kebijakan.
“Harusnya setelah PAPS selesai, siswa itu ditracking, ada berapa siswa yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA atau SMK. Itu yang harus carinya. Bukan yang sudah dapat dipindah ke sana,” tegas Ade.
Cecep berharap adanya perbaikan kebijakan di tahun depan.
“Saya berharap kebijakan tahun depan harus sudah berubah, karena mungkin ruang kelas baru sudah ada dan pemetaan dengan sekolah swasta lebih baik. Sehingga, begitu beralih tahun, anak yang tadi 50 itu sudah dibagikan berada dengan kelas yang normal. Mudah-mudahan dengan begitu, tidak ada dampak terlalu signifikan antara kualitas pendidikan,” ungkapnya.(dsn/mg3)