RADARBANDUNG.id – Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia tidak hanya dirayakan oleh masyarakat pada umumnya. Para Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang tengah menjalani masa pidana di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) atau Rumah Tahanan (Rutan) turut merayakannya.
Seperti yang terlihat di lapangan Lapas Kelas 1 Cipinang. Warga binaan ikut menggelar upacara pengibaran Bendera Merah Putih. Namun, ada satu momen yang membuat upacara di Lapas Cipinang berbeda dari biasanya. Sang Saka Merah Putih tak hanya dikibarkan oleh petugas, melainkan juga oleh narapidana tindak pidana terorisme (napiter).
Seorang napiter, berinisial BS, mengungkapkan perubahan besar dalam dirinya selama menjalani penahanan. Kini, mencintai Indonesia merupakan bagian dari keimanannya.
“Dulu saya punya pandangan yang salah tentang negara. Tapi hari ini, saya berdiri tegak di bawah Bendera Merah Putih dengan perasaan berbeda. Saya belajar bahwa mencintai Indonesia adalah bagian dari iman saya. Saya ingin berubah dan berkontribusi positif,” ungkapnya.
Kata-kata BS menegaskan bahwa semangat nasionalisme bisa hadir dari perjalanan batin yang penuh pergulatan. Bagi banyak orang, kemerdekaan mungkin terasa sebagai hal biasa. Namun bagi BS dan kawan-kawannya, momen itu adalah awal dari lembaran baru kehidupan.
Merdeka dari Jeruji Besi
Bagi sebagian orang, 17 Agustus hanya soal upacara, lomba, dan pesta rakyat. Tapi bagi sejumlah narapidana Lapas Salemba, hari itu berarti kebebasan. Tepat di HUT ke-80 Kemerdekaan RI, mereka resmi dinyatakan bebas setelah mendapatkan remisi.
Wajah-wajah penuh keceriaan terpancar dari wajah mereka. Seorang narapidana berinisial HJ, 43, warga Sukabumi, tampak terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab ketika ditanya apa yang akan ia lakukan setelah keluar.
“Ya, pulang ke rumah menemui keluarga. Istirahat dulu,” katanya.
HJ menjalani 1 tahun 9 bulan penjara karena kasus penipuan. Karena terbentur faktor ekonomi, dirinya nekat menggadaikan motor milik temannya. Dengan remisi empat bulan tujuh hari, pintu kebebasan akhirnya terbuka baginya di hari kemerdekaan.
“Ya, sangat senang. akhirnya bebas bisa menemui anak saya dan istri,” ucapnya dengan mata berbinar.
Ia mengaku tak peduli dengan pandangan negatif. Yang terpenting baginya adalah memulai lagi dari awal.
“Setelah keluar saya istirahat dulu, habis itu cari kerjaan yang halal,” katanya tegas.
Cerita lain datang dari IAP, 27. Laki-laki asal Cibitung ini sempat divonis lima tahun penjara, tapi hanya menjalani kurang dari empat tahun setelah mendapat remisi total 1 tahun 2 bulan.
IAP mengaku tak khawatir jika suatu saat ada orang yang mengetahui masa lalunya. “Nggak takut dapat penolakan warga karena warga sama teman-teman saya nggak ada yang tahu saya ditahan. Mereka tahunya saya kerja aja. Yang tahu cuma keluarga aja,” katanya.
Baginya, penjara menjadi titik balik. Selepas dari lapas Salemba ia mengaku tidak ingin kembali tinggal di balik jeruji besi.
“Ya, pasti taubat saya. Karena memang kerasa (keras) banget (tinggal di penjara). Di dalam saya ikut kegiatan di tamping dapur,” tambahnya.
Sementara itu, SM, 26, memilih menatap masa depan dengan langkah optimistis. Pemuda yang terjerat kasus pengeroyokan hingga divonis 1 tahun 6 bulan ini juga merasakan kemerdekaan lebih cepat berkat remisi dua bulan.
“Setelah keluar dari sini, saya mau lanjut kuliah,” ucapnya penuh semangat. (jpg)